Menanti Ketegasan Politik Realisasikan PLTN
Penolakan masyarakat selalu menjadi halangan terberat dalam membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di negara manapun, seberapa pun besarnya PLTN dibutuhkan.
Rencana Indonesia membangun PLTN pada 2010, dengan dasar UU No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), hingga sekarang juga terus tersendat.
Padahal RPJM menargetkan PLTN sudah dapat beroperasi pada 2016, sementara pembangunan konstruksi PLTN membutuhkan waktu minimal lima tahun, belum termasuk persiapan lainnya.
Pada awal 2010 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya mengeluarkan Inpres No 1 Tahun 2010 yang menugaskan Kementerian Riset dan Teknologi serta Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) melakukan sosialisasi tentang PLTN kepada masyarakat.
Sementara peraturan lainnya yang diperlukan serta keputusan nasional untuk "Go Nuclear" tetap tidak kunjung jelas hingga menjelang penutupan tahun 2010.
Penolakan masyarakat di era demokrasi ini tampaknya memang menjadi hal yang sangat senstif dan dikhawatirkan bisa merusak citra politik pemerintah.
60 Persen
Seberapa besarkah penolakan masyarakat terhadap PLTN? Pada 2010 sejumlah pakar dari jurusan Komunikasi FISIP Universitas Indonesia dipimpin Prof Dr Ibnu Hamad telah melakukan dua kali jajak pendapat tentang PLTN yakni pada Juni dan November.
Survei kedua yang dilakukan di 22 kota se-Jawa dan Bali tentang penerimaan masyarakat terhadap PLTN itu menunjukkan bahwa 59,7 persen masyarakat menerima keberadaan PLTN, meningkat dua persen dibanding survei sebelumnya di mana 57,6 persen yang menerima PLTN.
Dari 3.000 responden yang diwawancarai ini, sebanyak 25,5 persen masyarakat yang menolak dan 14,8 persen yang menjawab tidak tahu. Angka ini tidak jauh berbeda dengan survei pertama, dimana 24,6 persen menolak dan sisanya 17,8 persen menjawab tidak tahu.
Di setiap provinsi yang disurvei semuanya menunjukkan penerimaan lebih banyak daripada yang menolak, termasuk di Kabupaten Jepara yang direncanakan akan menjadi tapak PLTN, mereka 55,3 persen menerima.
Dua persen kenaikan angka dukungan dalam waktu beberapa bulan, ujar Ibnu Hamad, kemungkinan disebabkan semakin bertambahnya pengetahuan masyarakat karena sosialisasi yang mulai digencarkan.
Anggota Komisi VII DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan, angka nyaris 60 persen penerimaan terhadap PLTN ini sebenarnya sudah menjadi petunjuk bagi pemerintah bahwa rencana pembangunan PLTN didukung oleh mayoritas masyarakat.
DPR pun, lanjut dia, sangat mendukung pembangunan PLTN dan mengingatkan semua pihak bahwa energi nuklir merupakan opsi yang tetap harus dipilih di samping energi alternatif lainnya.
"Energi alternatif lain seperti surya, angin dan lainnya hanya mampu menyediakan listrik di skala rumah tangga. Tapi untuk dunia industri dibutuhkan listrik berkapasitas besar seperti yang ditawarkan PLTN, minimal 600 MW," katanya.
Sebelumnya, Pendiri Masyarakat Peduli Energi dan Lingkungan (MPEL) Sutaryo Supadi menegaskan angka 59,7 persen sebenarnya sudah cukup besar untuk menguatkan Kepala Negara untuk mengambil keputusan mengenai perlunya membangun PLTN.
"Perancis yang 80 persen listriknya dibangkitkan dari PLTN dulu itu juga didukung 60 persen masyarakatnya," ujar Sutaryo.
Disebutkan, saat ini jaringan listrik terpasang di seluruh Indonesia hanya mencapai 40 ribu MW dan baru bisa melistriki tak sampai 70 persen rakyat, sementara 10 tahun ke depan jumlah penduduk Indonesia terus meroket dan kebutuhan akan listrik juga bakal berlipat ganda.
Siapapun seharusnya tak lagi mengandalkan energi fosil, ujarnya, karena cadangan dunia untuk gas saat ini hanya tersisa 1,4 persen, minyak bumi 0,5 persen dan batubara 3,1 persen.
Saat ini, sebanyak 438 PLTN di 30 negara mampu memenuhi 16 persen kebutuhan listrik dunia. Ke-30 negara tersebut yakni Amerika Serikat yang memiliki 103 PLTN, 59 di Perancis, 55 di Jepang, 31 di Rusia, 20 unit di Korsel, 19 di Inggris, 18 di Kanada, 17 di Jerman, 17 di India, 15 di Ukraina, 11 di China dan seterusnya.
Bahkan China yang sudah memiliki 11 PLTN sedang membangun lima PLTN baru, sedangkan India yang sudah memiliki 17 PLTN sedang membangun enam PLTN tambahan. Terhitung saat ini sekitar 60 negara berkembang di dunia sudah berencana membangun PLTN.
Alasan Kecelakaan
Sementara itu, menanggapi kebanyakan alasan masyarakat menolak PLTN karena khawatir terjadi kecelakaan reaktor nuklir seperti disebut dalam survei, Kepala Batan Dr Hudi Hastowo menegaskan, bahwa teknologi PLTN saat ini sudah jauh berbeda dari teknologi PLTN di masa kecelakaan Chernobyl pada 1986.
Kemungkinan kebocoran reaktor untuk reaktor PLTN generasi pertama kurang dari satu per 10.000 sedangkan kemungkinan bocor reaktor PLTN generasi keempat bahkan sudah kurang dari satu per sejuta reaktor dalam setahun.
Kecelakaan Chernobyl, ujarnya, dipicu banyak pelanggaran dari mulai pelanggaran prosedur kerja, pelanggaran dalam sistem keselamatan dan kekurangan dalam desain reaktor.
Namun, ia menegaskan, tragedi Chernobyl tidak akan terjadi lagi karena desain reaktor sejenis itu pasti tidak akan mendapat izin dunia untuk dibangun.
"Persyaratan teknis dan administratif untuk melakukan kegiatan operasi sekarang ini jauh lebih ketat, juga sistem infrastruktur nasional maupun internasional untuk mencegah kejadian serupa. Termasuk masalah limbah," kata Hudi.
Jika opsi Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah sulit direalisasikan, pihaknya kini telah mempersiapkan tapak lainnya yang juga memenuhi syarat sebagai tapak PLTN, yakni di Bangka Barat dan Bangka Selatan yang di masa depan bisa dihubungkan dalam transmisi Sumatera-Jawa-Bali.
Keselamatan nuklir Indonesia, baik dari faktor manajemen keselamatan maupun budaya keselamatan di ketiga reaktor riset nuklirnya di Serpong, Bandung dan Yogyakarta, juga dinilai oleh negara-negara tetangga di Asia dan Australia sangat baik.
"Indonesia sangat baik dalam keselamatan nuklir. Tidak pernah terjadi kecelakaan serius di sini," kata Penasihat Senior bidang Keselamatan Organisasi Teknologi dan Sains Australia (ANSTO) Basil Ellis menambahkan.
Laporan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) dalam "Integrated Nuclear Infrastructure Review 2009" juga sudah menegaskan bahwa Indonesia, bersama Jordania dan Vietnam, adalah negara yang paling siap mengembangkan energi nuklir.
(D009/Z002/A038)
Sumber : http://www.antaranews.com/berita/1293377766/menanti-ketegasan-politik-realisasikan-pltn
Minggu, 26 Desember 2010
Rencana Indonesia membangun PLTN pada 2010, dengan dasar UU No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), hingga sekarang juga terus tersendat.
Padahal RPJM menargetkan PLTN sudah dapat beroperasi pada 2016, sementara pembangunan konstruksi PLTN membutuhkan waktu minimal lima tahun, belum termasuk persiapan lainnya.
Pada awal 2010 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya mengeluarkan Inpres No 1 Tahun 2010 yang menugaskan Kementerian Riset dan Teknologi serta Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) melakukan sosialisasi tentang PLTN kepada masyarakat.
Sementara peraturan lainnya yang diperlukan serta keputusan nasional untuk "Go Nuclear" tetap tidak kunjung jelas hingga menjelang penutupan tahun 2010.
Penolakan masyarakat di era demokrasi ini tampaknya memang menjadi hal yang sangat senstif dan dikhawatirkan bisa merusak citra politik pemerintah.
60 Persen
Seberapa besarkah penolakan masyarakat terhadap PLTN? Pada 2010 sejumlah pakar dari jurusan Komunikasi FISIP Universitas Indonesia dipimpin Prof Dr Ibnu Hamad telah melakukan dua kali jajak pendapat tentang PLTN yakni pada Juni dan November.
Survei kedua yang dilakukan di 22 kota se-Jawa dan Bali tentang penerimaan masyarakat terhadap PLTN itu menunjukkan bahwa 59,7 persen masyarakat menerima keberadaan PLTN, meningkat dua persen dibanding survei sebelumnya di mana 57,6 persen yang menerima PLTN.
Dari 3.000 responden yang diwawancarai ini, sebanyak 25,5 persen masyarakat yang menolak dan 14,8 persen yang menjawab tidak tahu. Angka ini tidak jauh berbeda dengan survei pertama, dimana 24,6 persen menolak dan sisanya 17,8 persen menjawab tidak tahu.
Di setiap provinsi yang disurvei semuanya menunjukkan penerimaan lebih banyak daripada yang menolak, termasuk di Kabupaten Jepara yang direncanakan akan menjadi tapak PLTN, mereka 55,3 persen menerima.
Dua persen kenaikan angka dukungan dalam waktu beberapa bulan, ujar Ibnu Hamad, kemungkinan disebabkan semakin bertambahnya pengetahuan masyarakat karena sosialisasi yang mulai digencarkan.
Anggota Komisi VII DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan, angka nyaris 60 persen penerimaan terhadap PLTN ini sebenarnya sudah menjadi petunjuk bagi pemerintah bahwa rencana pembangunan PLTN didukung oleh mayoritas masyarakat.
DPR pun, lanjut dia, sangat mendukung pembangunan PLTN dan mengingatkan semua pihak bahwa energi nuklir merupakan opsi yang tetap harus dipilih di samping energi alternatif lainnya.
"Energi alternatif lain seperti surya, angin dan lainnya hanya mampu menyediakan listrik di skala rumah tangga. Tapi untuk dunia industri dibutuhkan listrik berkapasitas besar seperti yang ditawarkan PLTN, minimal 600 MW," katanya.
Sebelumnya, Pendiri Masyarakat Peduli Energi dan Lingkungan (MPEL) Sutaryo Supadi menegaskan angka 59,7 persen sebenarnya sudah cukup besar untuk menguatkan Kepala Negara untuk mengambil keputusan mengenai perlunya membangun PLTN.
"Perancis yang 80 persen listriknya dibangkitkan dari PLTN dulu itu juga didukung 60 persen masyarakatnya," ujar Sutaryo.
Disebutkan, saat ini jaringan listrik terpasang di seluruh Indonesia hanya mencapai 40 ribu MW dan baru bisa melistriki tak sampai 70 persen rakyat, sementara 10 tahun ke depan jumlah penduduk Indonesia terus meroket dan kebutuhan akan listrik juga bakal berlipat ganda.
Siapapun seharusnya tak lagi mengandalkan energi fosil, ujarnya, karena cadangan dunia untuk gas saat ini hanya tersisa 1,4 persen, minyak bumi 0,5 persen dan batubara 3,1 persen.
Saat ini, sebanyak 438 PLTN di 30 negara mampu memenuhi 16 persen kebutuhan listrik dunia. Ke-30 negara tersebut yakni Amerika Serikat yang memiliki 103 PLTN, 59 di Perancis, 55 di Jepang, 31 di Rusia, 20 unit di Korsel, 19 di Inggris, 18 di Kanada, 17 di Jerman, 17 di India, 15 di Ukraina, 11 di China dan seterusnya.
Bahkan China yang sudah memiliki 11 PLTN sedang membangun lima PLTN baru, sedangkan India yang sudah memiliki 17 PLTN sedang membangun enam PLTN tambahan. Terhitung saat ini sekitar 60 negara berkembang di dunia sudah berencana membangun PLTN.
Alasan Kecelakaan
Sementara itu, menanggapi kebanyakan alasan masyarakat menolak PLTN karena khawatir terjadi kecelakaan reaktor nuklir seperti disebut dalam survei, Kepala Batan Dr Hudi Hastowo menegaskan, bahwa teknologi PLTN saat ini sudah jauh berbeda dari teknologi PLTN di masa kecelakaan Chernobyl pada 1986.
Kemungkinan kebocoran reaktor untuk reaktor PLTN generasi pertama kurang dari satu per 10.000 sedangkan kemungkinan bocor reaktor PLTN generasi keempat bahkan sudah kurang dari satu per sejuta reaktor dalam setahun.
Kecelakaan Chernobyl, ujarnya, dipicu banyak pelanggaran dari mulai pelanggaran prosedur kerja, pelanggaran dalam sistem keselamatan dan kekurangan dalam desain reaktor.
Namun, ia menegaskan, tragedi Chernobyl tidak akan terjadi lagi karena desain reaktor sejenis itu pasti tidak akan mendapat izin dunia untuk dibangun.
"Persyaratan teknis dan administratif untuk melakukan kegiatan operasi sekarang ini jauh lebih ketat, juga sistem infrastruktur nasional maupun internasional untuk mencegah kejadian serupa. Termasuk masalah limbah," kata Hudi.
Jika opsi Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah sulit direalisasikan, pihaknya kini telah mempersiapkan tapak lainnya yang juga memenuhi syarat sebagai tapak PLTN, yakni di Bangka Barat dan Bangka Selatan yang di masa depan bisa dihubungkan dalam transmisi Sumatera-Jawa-Bali.
Keselamatan nuklir Indonesia, baik dari faktor manajemen keselamatan maupun budaya keselamatan di ketiga reaktor riset nuklirnya di Serpong, Bandung dan Yogyakarta, juga dinilai oleh negara-negara tetangga di Asia dan Australia sangat baik.
"Indonesia sangat baik dalam keselamatan nuklir. Tidak pernah terjadi kecelakaan serius di sini," kata Penasihat Senior bidang Keselamatan Organisasi Teknologi dan Sains Australia (ANSTO) Basil Ellis menambahkan.
Laporan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) dalam "Integrated Nuclear Infrastructure Review 2009" juga sudah menegaskan bahwa Indonesia, bersama Jordania dan Vietnam, adalah negara yang paling siap mengembangkan energi nuklir.
(D009/Z002/A038)
Sumber : http://www.antaranews.com/berita/1293377766/menanti-ketegasan-politik-realisasikan-pltn
Minggu, 26 Desember 2010
0 komentar:
Posting Komentar