PLTN Muria dan Problem Kesetimbangan
Lama tak tersiar kabar, bukan berarti rencana Pembangunan Listrik Tenaga Nuklir Balong, Semenanjung Muria Jepara, berhenti. Proyek yang dimotori Badan Tenaga Atom Nasional itu, pada tahun 2007 sempat menjadi isu nasional, bahkan internasional. Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama Cabang Jepara bahkan pernah mengeluarkan fatwa haram terhadap rencana tersebut. Alasannya, mudarat yang ditimbulkan lebih terang daripada manfaat yang bisa diambil.
Meski rencana tersebut menurut pemerintah dimaksudkan sebagai langkah mengatasi krisis energi yang akan terjadi pada 2025, toh demikian reaksi warga terhadap rencana pembangunannya, ketika itu, masih tegas menolak. Bahkan, ketika penulis berkunjung ke sana, terpampang banyak spanduk di jalan-jalan setapak kampung yang menyatakan penolakan keras. “Hidup Mati Warga Balong Tolak PLTN,” demikian salah satu bunyi spanduk itu. Apakah penolakan itu masih terdengar nyaring?
Setelah tidak diekspos media secara besar-besaran selama kurang lebih dua tahun, penolakan rencana seperti ditelan bumi. Bahkan, beberapa waktu lalu, Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menneg Ristek) Kusmayanto Kadiman menegaskan bahwa tak ada perubahan dalam rencana pembangunan PLTN Muria. Megaproyek yang mengacu pada UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) itu bahkan ditargetkan beroperasi pada 2016.
Informasi tersebut berbeda dengan kabar yang saya terima dari seorang sarjana nuklir dari Jepara. Dia pernah mengatakan kepada saya bahwa setelah mendengar penolakan PLTN dari warga Balong, yang berbuntut pada keluarnya fatwa haram PLTN dari LBM NU Cabang Jepara, presiden memutuskan untuk menunda keputusan jalan dan tidaknya PLTN Muria hingga 2015.
Secara ideal, PLTN adalah perwujudan dari mimpi untuk membangun bangsa. Kita yakin pemerintah mencanangkan program itu untuk kepentingan rakyat banyak. Sumber energi yang diprediksi menelan biaya hingga Rp12 triliun itu rencananya dibangun dengan kekuatan hingga 6.000 mega watt (MW). Siapa pun akan mendukung rencana mulia itu.
Namun, dalam praktik, untuk mendapatkan dukungan itu harus melewati negosiasi agar tercapai apa yang disebut kesetimbangan sosial dan kultural. Terjadinya penolakan tegas dari warga Balong karena belum adanya kesetimbangan kepentingan bersama.
Tiga kesetimbangan
Warga yang daerahnya dijadikan lokasi proyek merasa khawatir akan bahaya PLTN sebagaimana kecelakaan yang terjadi di Chernobyl, Ukraina, 25 April 1986, yang menewaskan ratusan korban. Sementara itu, pemerintah tetap bersikukuh bahwa PLTN yang akan dibangun itu berbeda dengan yang dulu ada di negara pecahan Uni Soviet tersebut. Jelas tidak akan terjadi kesetimbangan sosial, manakala mekanisme yang ditempuh adalah petak umpet, sembunyi-sembunyi.
Ketika penulis berkunjung ke Balong, banyak warga yang pada awalnya mengaku tidak mengetahui adanya rencana pembangunan PLTN, padahal bangunan untuk melakukan kegiatan penelitian proyek tersebut sudah berdiri kokoh. Mereka mengetahui rencana tersebut setelah ada wartawan asing yang datang meliput ke desa. Jika cara ini yang ditempuh, jelas tidak akan menemukan kesetimbangan sosial, justru keriuhan.
Barangkali pemerintah merasa perlu membangun PLTN untuk memenuhi keseimbangan energi di masa depan. Sebuah harapan yang optimistis. Secara filosofis, Tuhan memang menciptakan alam ini dengan kesetimbangan ekologis yang pasti. Dunia dan alam ini adalah titipan Tuhan yang diberikan sepenuhnya untuk kesejahteraan manusia di muka bumi.
Jika manusia memanfaatkannya dengan baik, kebutuhan manusia akan tercukupi. Tidak akan ada kekurangan energi. Yang membuat bumi rusak adalah kerakusan. Mahatma Gandhi pernah berkata: bumi ini bisa menampung segala apa yang ada di atasnya, kecuali kerakusan dan keserakahan manusia. Apakah pembangunan PLTN berangkat dari kerakusan atau kesadaran mengelola amanat Tuhan, tidak ada yang tahu, kecuali orang-orang yang berkepentingan.
Tiadanya kesetimbangan etis dalam pengelolaan PLTN pasca pembangunan juga menyisakan problem. Banyak orang yang menyangsikan kualitas sumber daya manusia Indonesia untuk mengelola megaproyek yang akan menyedot biaya besar tersebut.
Mental masyarakat kita masih belum bisa dianggap mandiri, bersih dari korupsi, dan kecurangan politik. Banyak unsur human error yang dijadikan alasan beberapa pihak menolak ambisi pemerintah itu. Ada kekhawatiran, bila PLTN Muria benar-benar direalisasikan, bukan kesetimbangan energi dalam negeri yang tercipta, melainkan pengangkutan energi ke luar negeri.
Tiga problem kesetimbangan tersebut, yakni kesetimbangan sosial, ekologis, dan etis perlu diselesaikan pemerintah bila ingin memuluskan rencana tersebut. Pemerintah, yang terutama diwakili Pemerintah Kabupaten Jepara, harus berani menghadapi masyarakat yang menolak. Jangan sampai masyarakat terus dirundung kekhawatiran.
Selain itu, media juga harus memantau secara simultan perkembangan proses menuju kesetimbangan itu, agar berjalan sesuai dengan mekanisme yang berlaku serta ketentuan-ketentuan hukum yang telah distandardisasi dunia internasional. Ini terutama berkaitan dengan proses negosiasi antara pemerintah dan warga.
Pernyataan Menneg Ristek yang terus melanjutkan rencana pembangunan PLTN Muria akan menemukan kebenarannya jika bisa menyelesaikan ketiga problem kesetimbangan tersebut. Pendekatan politik an sich, tanpa ada upaya-upaya mencapai kesetimbangan secara kultural hanya akan melahirkan ketidakpuasan massa di mana-mana.
M Abdullah Badri Warga Jepara Peneliti Budaya di Idea Studies IAIN Walisongo Semarang
www.kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar