Ternyata, pengembangan energi arus laut belum jadi prioritas
Bappenas membutuhkan dukungan kuat untuk mendorong pemanfaatan energi arus laut Indonesia. Bukan apa-apa, ini sangat politis dan kami harus berhadapan dengan mafia fosil. "Pernyataan itulah yang mengemuka dari Staf Ahli Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas Bidang Tata Ruang dan Kemaritim-an Son Diamar dalam sebuah seminar beberapa waktu lalu.
Ungkapan Son Diamar sejalan dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh yang belakangan ini begitu gemar mengangkat isu energi baru dan terbarukan (EBT) menjadi catatan khusus bagi para jurnalis.Bahkan, dia berjanji membicarakan pengembangan energi itu dengan mitra kerja bilateralnya, seperti Inggris, Jepang, dan Belanda. Tidak itu saja. Menteri ESDM itu juga berjanji berupaya menghilangkan sumbatan-sum-batan pengembangan EBT.
Namun tidak dimungkiri, di sektor ketenagalistrikan misalnya, Menteri asal Partai Demokrat itu masih fokus pada pengembangan energi panas bumi. Itu dapat dimaklumi karena pemerintah telah menetapkan panas bumi sebagai energi primadona di program 10.000 MW tahap kedua, dengan kapasitas 4.733 MW.Rencana pengembangan EBT oleh pemerintah, sekalipun penuh gebrakan, sesungguhnya masih relatif kecil dibandingkan dengan potensi yang dimiliki.
Apabila panas bumi berjalan mulus,artinya kapasitas akan meningkat menjadi sekitar 5.922 MW, itu masih setara dengan 22% dari total potensi yang mencapai 27.000 MW.Sumber energi yang tidak kalah besarnya adalah arus laut Indonesia. Secara singkat, energi listrik dari arus laut (EAL) pada prinsipnya adalah mengubah energi kinetik dari arus dan gelombang laut untuk menggerakkan turbin.
Sebenarnya, prinsip kerja pembangkit energi arus laut mirip dengan PLTA, tetapi dengan konstruksi logam yang lebih baik karena harus bersentuhan dengan air laut yang korosif.Sejauh ini, memang ada perbedaan perhitungan sangat signifikan antara Departemen ESDM dan Kementerian PPN/Bappenas terkait dengan besaran potensi yang ada. Departemen ESDM memperkirakan potensi EAL hanya 2.000 MW, sedangkan Kementerian PPN/Bappenas memperkirakan ada potensi sekitar 5,6-9 terrawatt.
Koordinator Tim Kajian Staf Ahli Bappenas Bidang Tata Ruang dan Kemaritiman Rizal Seiful Sabirin mengungkapkan perkiraan potensi 5,6-9 terrawatt didasarkan pada hasil proyek Arus Lintas Indonesia (Arlindo).Menurut dia, jika dikonversikan menjadi listrik, ams laut Indonesia bisa mencapai 3O.OOO-5O.OOO kali lipat dari kapasitas pembangkit PLTA Jatiluhur 187 MW.
Proyek tahap III
Saat ini, Kementerian PPN/Bappenas merancang rencana untuk memasukkan EAL ke dalam program 10.000 MW tahap III.Ada beberapa provinsi kepulauan yang dibidik untuk dijadikan lokasi pengembangan, meliputi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Utara.
Bahkan, Son Diamar menargetkan pembangkit listrik energi arus laut di Kepulauan Riau sudah bisa beroperasi pada 2011-2012. Akankah rencana itu berjalan mulus?
Tantangan pertama adalah keandalan teknologi. Direktur Energi Terbarukan dan Konservasi Energi Ditjen Listrik dan Peman faatan Energi Departemen ESDM Rat- . na Ariyanti meragukan keandalan teknologi EAL.Dia mengatakan sejauh ini pemanfaatan EAL di dunia baru sebatas riset di laboratorium.
Akan tetapi, Rizal membantahnya dan menyatakan sudah banyak perusahaan penyedia teknologi pembangkit arus laut didunia.Di sisi lain, dia mengingatkan agar pemerintah tidak terjebak dalam perangkap kartel teknologi. "Itu sudah menjadi rahasia umum ketika vendor menawarkan teknologi, mereka pasti juga ingin meningkatkan ketergantungan konsumennya. Nah, itu perlu ada strategi agar kita tidak terjebak."
Dari dalam negeri, Institut Teknologi Bandung telah berhasil mengembangkan turbin pembangkit EAL skala kecil, 5.000 watt, di Nusa Penida, Bali dan Sekotong, Lombok Barat.Di Sekotong, tim yang sama bekerja atas permintaan Departemen Kelautan dan Perikanan untuk melistriki penduduk nelayan. Pembangkit di Sekotong telah beroperasi sejak Oktober 2009 dan menjual listrik seharga Rp500 per kWh.
Harus diakui, tantangan pengembangan EAL adalah masalah pendanaan. Bayangkan saja, biaya yang dibutuhkan untuk setiap megawattnya sekitar US$3 juta. Kebutuhan dana investasi itu jauh di atas kebutuhan investasi untuk PLTA dan PLTGU (US$900.000-US$1 juta per MW) dan PLTU (US$1 juta US$1,2 juta per MW) yang kini menjadi primadona.
Tidak heran apabila Menteri PPN/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana mengharapkan swasta berpartisipasi merealisasikan rencana besar ini, mengingat terbatasnya kemampuan pemerintah. Besarnya investasi juga menuntut adanya insentif bagi investor agar proyek lebih menarik.
Sebenarnya, dengan dukungan penuh dari pemerintah, status sebagai EBT menjadikan EAL akan lebih mudah mendapatkan insentif dalam bentuk mekanisme pembangunan bersih (CDM) yang diatur protokol Kyoto.
Rizal menyesalkan pemerintah yang belum mengenal pembangkit listrik tenaga EAL dalam kebijakan energi nasionalnya. Bahkan, belum mengagendakan pembangunan PLT EAL hingga 2014. (TudLarifilantoiaibisnis.coM)
Sumber : http://bataviase.co.id/content/ternyata-pengembangan-energi-arus-laut-belum-jadi-prioritas
0 komentar:
Posting Komentar