DMO Gas Bumi, Dorong Ketahanan Energi Nasional
Mahalnya biaya energi menjadi salah satu faktor kunci penyebab lemahnya daya saing bisnis dan perekonomian nasional. Akankah kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) Gas Bumi menjadi solusi strategi ketahanan energi.
Ketahanan energi menjadi agenda yang semakin mendesak bagi bangsa ini. Sebagai salah satu penggerak roda perekonomian, energi memainkan peranan penting dalam ketahanan nasional. Apalagi, kompetisi dalam memperebutkan sumber energi di antara negara-negara di dunia diperkirakan akan semakin ketat.
Indonesia diuntungkan karena dianugerahi potensi kekayaan alam yang melimpah ruah. Kekayaan energi gas bumi negeri ini jelas merupakan sumber yang sangat strategis dalam rangka pengembangan politik dan perekonomian bangsa. Namun sayang pengelolaannya justru terkesan setengah hati.
Potensi energi yang luar biasa besarnya ternyata diobral murah kepada pihak asing tanpa dibarengi dengan kemampuan mengkaji ulang akan kontribusi timbal balik yang diraih bangsa ini. Bila ingin mengoptimalkan pemanfaatan ladang energi yang bertebaran di negeri ini, upaya menata ulang sistem pengelolaan energi harus digagas sejak dini.
Pemerintah harus berani untuk merumuskan serta memberlakukan format kontrak bagi hasil atau kontrak kerja sama yang lebih mengedepankan prinsip pemenuhan dan memprioritaskan kepentingan nasional. Sungguh ironis Indonesia berteriak kurang pasokan untuk memenuhi kebutuhan sendiri di dalam negeri. Tidak optimalnya kinerja pengelolaan kekayaan energi sebagai salah satu faktor penting ketahanan energi nasional menjadi biang kerok yang belum tertuntaskan hingga detik ini.
Indikasi tidak optimalnya pengelolaan kekayaan energi nasional salah satunya dibuktikan dari kondisi produksi dan cadangan migas yang mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Di sisi lain, cost recovery-nya justru mengalami peningkatan seiring dengan perjalanan waktu. Pemerintah selalu berdalih bahwa dalam rangka meningkatkan produksi dan cadangan minyak dan gas bumi, pemerintah memberikan berbagai bentuk insentif kepada kontraktor minyak asing menjadi kebijakan yang ideal.
Ternyata kontraktor minyak asing telah menguasai mayoritas blok migas yang dimiliki Indonesia. Sekitar 65% berada dalam pengendalian asing, sedangkan 24,27% dikuasai oleh perusahaan nasional dan selebihnya dipegang oleh perusahaan patungan. Kondisi ini kian diperparah dengan adanya regulasi yang hanya mewajibkan para kontraktor untuk menyetor 25% dari hasil produksinya untuk pasokan domestik. Itu artinya bahwa sekitar 75% hasil produksi para kontraktor justru diberikan keleluasaan dalam memanfaatkannya.
Tidak mengherankan bila kemudian kekayaan alam yang melimpah ruah itu justru tidak memberi dampak positifnya bagi kehidupan publik. Rakyat pun hanya dapat mencium aroma kekayaan alam yang menggunung itu, namun untuk merasakan manfaat riilnya.
Sebenarnya pemerintah menyadari hal itu, beberapa kebijakan pemerintah terkait DMO yang tertuang dalam UU Migas No 22/2001 maupun dalam Peraturan pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen) ESDM, namun belum mampu mengatasi persoalan strtaegis terkait minimnya pasokan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang terus mengalami peningkatan yang signifikan.
Selain beberapa ketentuan DMO dalam beberapa pasal utama UU Migas No 22/2001, sempat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam keputusan pada tanggal 21 Desember 2004, Panitia Angket (atau Pansus) Kenaikan Harga BBM DPR dalam salah satu keputusan Pansus Hak Ngket BBM DPR adalah agar UU Migas No 22/2001 segera diganti.
Secara politis, keputusan Pansus itu merupakan sinyal bahwa UU No 22/2001 sudah tidak layak lagi memperoleh dukungan DPR sehingga seyogjanya harus segera diperbaiki atau diganti.
Dari sisi historis, patut diketahui kenapa ketentuan DMO dimasa lalu relatif kecil, pasalnya permintaan gas dalam negeri relatif kecil disamping itu harga minyak masih rendah, begitu juga dengan infrastruktur pipa gas belum banyak tersedia.
Namun kini kondisinya telah berubah signifikan.Harga BBM melonjak tinggi, menjadikan gas bumi pilihan energi yang paling efisien. selain itu lebih ramah lingkungan, infrastruktur pipa gas juga sudah banyak dibangun Perusahaan Gas Negara (PGN).
Walaupun rencana proyek itu sudah dicanangkan sejak 2005-2006, yang artinya sudah ada pemikiran sejak awal bahwa akan terjadi lonjakan kebutuhan gas domestik, dengan melihat kondisi ini seakan-akan pemerintah tidak pernah mempersiapkannya dengan baik. Untuk menyiasati keterbatasan infrastruktur pula pemerintah merekomendasikan pembangunan unit-unit baru pabrik pupuk atau pembangkit listrik dibangun di dekat lokasi proyek migas.
Harga gas merupakan salah satu kegamangan pemerintah. Hal itu didasarkan pada kondisi bahwa pengembangan gas bumi yang semakin memerlukan modal besar dan teknologi tinggi. “Jadi untuk mencapai keekonomian, harus mencapai harga tertentu. Dengan harga tertentu itu, biasanya domestik tidak memungkinkan [membeli],” ungkap Dirjen Migas Departemen ESDM Evita H. Legowo.
Berdasarkan PP No.55/2009 disebutkan harga gas bumi dinegosiasikan antara kontraktor dan konsumen dalam negeri, dengan memperhatikan keekonomian proyek. Dengan kata lain, harga gas bumi untuk domestik memang tidak diatur karena PP itu hanya mengatur mengenai batasan 25% secara volume. Itu juga berarti konsumen dalam negeri harus berlomba dengan konsumen asing untuk mendapatkan gas tersebut.
Dengan tetap menghormati kontrak ekspor jangka panjang yang memang sudah terjadi, maka pemerintah perlu merombak aturan DMO-nya, terutam bagi pengelolaan sumur gas yang baru, agar memasok terlebih dahulu kebutuhan dalam negeri dan kelebihannya dapat diekspor. Bagi kontraktor blok migas bumi yang sudah terlanjur tandatangan kontrak jangka panjang, ekspornya dibatasi pada volume minimal, sehingga masih ada alokasi untuk pasokan dalam negeri.
Tentunya harus diimbangi dengan kajian keekonomisain pengelolaan blok gas bumi dan insentif khusus bagi perusahaan yang memprioritaskan pasokan dalam negeri. Dengan konvesi BBM ke gas bumi, maka negara dapat menghemat ratusan triliun devisa negara. Tercatat sejak tahun 2002 hingga 2008, Indonesia mengeluarkan devisa negara Rp 643,1 triliun atau US$ 67,7 miliar. Tahun 2008 sebanyak Rp 115,7 triliun atau US$ 16,4 miliar devisai karena harus mengimpor BBM.
Konversi sumber energi minyak ke gas bumi, dikalkulasikan dapat menghemat biaya produksi sebesar Rp 24 triliun per tahun. dengan suplai gas bumi ke PLN, misalnya penghematan untuk subsidi BBM bisa mencapai Rp 12-15 triliun per tahun. Bahkan jika seluruh pembangkit listrik PLN semua dikonversi ke ga bumi, maka pemerintah tidak perlu mengeluarkan subsidi listrik yang angkanya mencapai puluhan trilin rupiah.
Data pemerintah menunjukkan pemakaian gas domestik hingga 2008 lalu masih berada di posisi 47,81% atau setara dengan 3.769 juta kaki kubik per hari.Adapun, ekspor masih dominan dengan 4.114 MMscfd. Dari segi volume, pasokan gas ke domestik sejatinya tidak banyak bergerak dalam 5 tahun terakhir, yaitu di posisi antara 3.500 MMscfd dan tertinggi pada realisasi 2008 lalu. Artinya, komitmen 64,1% pasokan itu baru timbul pada masa depan dan dalam jangka panjang, beberapa kondisi masih perlu dipenuhi untuk bisa merealisasikannya.
Komitmen PGN
Salah satu perusahaan negara PGN memiliki kewajiban moral untuk berkomitmen memberi pasokan gas bagi kebutuhan industri dalam negeri. PGN berjanji akan memenuhi kebutuhan gas bagi industri di dalam negeri. Komitmen itu dituangkan dalam bentuk nota kesepahaman (MoU) antara PGN dengan Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB).
Dirut PGN Hendi Priyo Santoso berjanji akan memenuhi kebutuhan pasokan gas sebesar 2.900 MMSCFD dan mendukung pertumbuhan industri di 2011 sebesar 6%. MoU akan mengikat spirit industri nasional untuk memperoleh porsi yang wajar (gas) yang dibutuhkan untuk industri dalam negeri. Apabila infrastruktur terutama gas dapat dipasok memadai dengan harga yang komersial maka pertumbuhan industri akan meningkat melebihi 6%.
PGN akan memberi alokasi yang lebih besar dari yang saat ini diberikan pada industri selama 2011 hingga 2013. Sebagai contoh alokasi gas dari PGN ke industri makanan dan minuman tahun ini mencapai 35,99 mmscfd, yang ditingkatkan menjadi 43,18 mmscfd. Sementara, pada industri logam dari 972,45 mmscfd ditambah menjadi 1166,94 mmscfd, dan industri keramik dari 144,72 mmscfd menjadi 173,66 mmscfd.
Hendi berharap agar alokasi gas bumi yang diberikan dapat terus meningkat karena memiliki dampak positif untuk mendorong pergerakan roda perekonomian nasional. Syaratnya, perlu diimbangi dengan komitmen untuk mendukung peningkatan produksi gas bumi nasional dan penyalurannya untuk memenuhi kebutuhan gas di dalam negeri.
Sejalan dengan Instruksi Presiden No 1 Tahun 2010 mengenai Inpres No. 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010 serta Penugasan Pemerintah pada rapat koordinasi dengan Wakil Presiden tanggal 18 Januari 2010, PGN melaksanakan pembangunan terminal penerimaan LNG di Sumatera Utara dan Teluk Jakarta.
Upaya lain yang dilakukan, lanjut Hendi adalah partisipasi di bidang hulu gas bumi. Anak usaha PGN, telah ikut serta pada pengembangan Coal Bed Methane atau Gas Metana Batubara, melalui keikutsertaan pada kontrak kerja sama untuk pengembangan Blok CBM di Sumatera Selatan.
Sejalan dengan visi dan misi PGN yang terus mengupayakan peningkatan ketersediaan pasokan gas baik konvensional maupun non-konvensional untuk pemenuhan kebutuhan gas di dalam negeri. Berangkat dari visi baru PGN bertekad menjadi perusahaan kelas dunia dalam pemanfaatan gas bumi. Kedepannya PGN berusha terus meningkatkan nilai tambah perusahaan bagi stakeholders melalui penguatan bisnis inti di bidang transportasi, niaga gas bumi dan pengembangannya.
"Namun keberhasilannya sangat ditentukan oleh kerja sama dari sektor hulu, konsistensi kebijakan pemerintah dan dukungan dari stakeholders akan peran dan kontribusi yang dapat diberikan oleh PGN," papar Hendi kepada Business Review, ditengah acara buka puasa bersama dengan wartawan pasar modal.
Sebenarnya pemerintah telah memiliki beberapa target pengembangan lapangan gas bumi yang siap dieksplorasi dan diproduksi. Pada 2011, Blok A, Jambi Merang, Randublatung, Gajah Baru, lepas pantai Natuna, Lapangan Ruby, Sebuku, Kepodang, lepas Pantai Bawean, dan Kangean diharapkan mulai menggenjot produksi.
Tahun berikutnya, pemerintah berharap gas Cepu dari Jimbaran, Madura, Donggi-Senoro, South Mahakam Phase-2, South Sembakung Simenggaris. Pada 2013 giliran lapangan Coridor (Sumpal, Dayung Suban 3), dan Rapak Ganal yang akan dikembangkan. Di ujung masa pemerintahan, permulaan pengembangan Natuna D-Alpha dan Masela diharapkan bisa menjadi kado manis pemerintah.
Tak Sekedar Hemat Energi
Mengacu pada perencanaan yang disusun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, kebutuhan energi Indonesia pada tahun 2025 adalah sebesar 8,3 juta barel equivalent per hari. Apabila produksi minyak dan gas bumi konstan, yaitu 2.300.000 BOEPD seperti saat ini, maka pada tahun 2025 migas hanya akan mensuplai kebutuhan energi sebesar 28 persen saja, atau turun dari posisi saat ini sebagai pemasok 77 persen kebutuhan energi nasional.
Yang menjadi pertanyaan, apakah dalam waktu 15 tahun sumber energi lain dapat dikembangkan agar mampu memenuhi 72 persen kebutuhan energi tahun 2025 ?.
Patut dicatat saat ini energi lain hanya mendukung 23 persen kebutuhan energi. Apabila pemenuhan kebutuhan energi tetap dibebankan kepada sumber energi migas, maka langkah utama yang harus dilakukan adalah meningkatkan cadangan migas.Tanpa peningkatan cadangan, usaha untuk meningkatkan produksi juga menjadi tidak mungkin dilakukan. Selama 10 tahun belakangan ini cadangan minyak terbukti turun rata-rata 2,4 persen per tahun. Idealnya, setiap produksi 1 barel, harus digantikan dengan adanya penemuan cadangan 1 barel.
Pada tahun 2010, total produksi 344 juta barel setahun, hanya digantikan oleh cadangan sebesar 140 juta barel. Artinya, reserve replacement ratio (RRR) hanya sebesar 41 persen. Artinya, setiap 100 barel produksi hanya digantikan oleh 87 barel. Akibat rendahnya penemuan, cadangan minyak Indonesia yang besarnya 0,3 persen cadangan dunia, hanya cukup memenuhi kebutuhan selama 12 tahun. Sementara cadangan gas bumi yang besarnya 8,7 persen cadangan dunia, cukup memenuhi kebutuhan 44 tahun.
Rudi Rubiandini R.S, Guru Besar dan Petroleum Engineering Institut Teknologi Bandung (ITB), mengatakan sebenarnya potensi peningkatan cadangan masih terbuka lebar mengingat sebagian besar lapangan produksi belum dieksplorasi secara maksimal. Melalui penggunaan teknologi tinggi, KKKS produksi diharapkan dapat melakukan kegiatan Teknologi Enhance Oil Recovery (EOR) yang saat ini baru diterapkan di beberapa lapangan. Apabila kegiatan EOR berhasil meningkatkan recovery factor 10 persen, maka akan ada tambahan cadangan sebesar 4,3 miliar. Penambahan ini lebih besar dari cadangan minyak terbukti nasional yang hanya 3,7 miliar barel.
Namun, peningkatan kegiatan yang berisiko tinggi pada Kontraktor KKS produksi tersebut membutuhkan kepastian investasi melalui peraturan perundangan dan bentuk kontrak yang menarik. Karena itu diusulkan agar Indonesia memiliki beberapa jenis kontrak yang dapat mengakomodasi keekonomian berbagai jenis lapangan besar maupun kecil, daerah aman maupun frontier.
"Kepastian hukum juga dibutuhkan pada proses perpanjangan kontrak kerjasama. Tanpa kepastian hukum dan rezim kontrak yang menjanjikan keuntungan dan kepastian bagi investor, kegiatan investasi sulit direalisasi," tandas Rudi.
Artinya banyak peluang baik secara sentuhan bisnis dalam perbaikan jenis kontrak, maupun sentuhan teknologi yang bisa diusahakan, sehingga bisa meningkatkan cadangan dan akhirnya meningkatkan produksi minyak dan gas bumi. Apabila semua kegiatan tersebut dilaksanakan, yaitu perbaikan sistim bisnis migas yang akan menaikan kegiatan eksplorasi, dan merangsang penggunaan teknologi tinggi dalam usaha produksi menjadi satu kesatuan dari hulu sampai hilir, maka jargon di dunia migas “Resource to Reserve to Production" (R2R2P) akan terlaksana di Indonesia.
Saat ini terdapat 107 Wilayah Kerja eksplorasi, namun sebanyak 77 wilayah kerja di antaranya tidak mampu memenuhi komitmen pasti untuk merealisasi kegiatan seismik, ataupun merealisasi kegiatan pengeboran eksplorasi karena berbagai kendala di lapangan seperti tumpang tindih, izin lahan yang belum tuntas, masalah social dan sebagainya.
Nah ada beberapa benang merah yang dapat disimpulkan. Pertama, kekurangan energi tahun 2025 tidak bisa dijawab dengan “penghematan” karena posisi ekonomi Indonesia yang masih harus tumbuh mengejar ketertinggalan, maka usaha “pemenuhan” energi menjadi satu-satunya jalan.
Kedua, kenaikan kebutuhan energi sebesar 7 persen per tahun bila hanya diimbangi dengan kenaikan energi non-migas diperlukan kenaikan 15,5 persen per tahun, sehingga menjadi kesempatan besar bagi pengembangan energi baru dan terbarukan.
Ketiga, beban kebutuhan energi nasional pada non-migas, hampir merupakan sebuah kemustahilan. Oleh karena itu, peningkatan produksi migas menjadi suatu keharusan yang tidak mungkin ditawar lagi. Keempat, apabila usaha-usaha eksploitasi migas secara operasional sudah maksimal, Indonesia harus mampu memperbaiki iklim investasi yang kondusif, sehingga investor mau datang, antara lain melalui perbaikan UU yang terkait dengan energi, bentuk-bentuk kontrak, sistim fiskal, kepastian hukum, dan jaminan keamanan, serta terobosan-terobosan kebijakan yang menarik untuk meningkatkan investasi untuk pengembangan EOR, IOR, pemasaran Blok Baru, Reenjinering pengelolaan Data Migas.
Kelima, wajib meningkatkan kapabilitas dalam mengelola industri migas, baik dari sisi infrastruktur, peralatan, SDM, teknologi, riset ataupun permodalan. Keenam, agar R2R2P harus menjadi kesatuan melalui: ekstensifikasi, yaitu meningkatkan cadangan melalui kegiatan eksplorasi; dan intensifikasi, yaitu meningkatkan produksi melalui peningkatan Recovery Factor dengan teknologi EOR, IOR.
Nah dari beberapa poin diatas diharapkan bisa memberi solusi bagi kelangsungan gas bumi di tanah air dan memberi kemaslahatan bagi masyarakat dan pelaku industri di tanah air. Namun semuanya tergantung dari kebijakan pemanggu kekuasaan negara.
Itu yang menjadi harapan semua, sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ayat 1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. 2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. 3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Masalahnya ternyata sekarang sistem ekonomi yang diterapkan bersikap mendua. Pengertian "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" menjadi sempit yaitu hanya dalam bentuk pajak dan royalti yang ditarik oleh pemerintah, dengan asumsi bahwa pendapatan negara dari pajak dan royalti ini akan digunakan untuk sebasar-besar kemakmuran rakyat. Keterlibatan rakyat dalam kegiatan mengelola sumberdaya hanya dalam bentuk penyerapan tenaga kerja oleh pihak pengelolaan sumberdaya alam tidak menjadi prioritas utama dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia.
Begitu pula dalam bidang pertambangan Migas (Minyak dan Gas Bumi) dan Pertambangan Umum. Untuk kontrak bagi hasil dalam kuasa Pertambangan Migas, Pertamina (Perusahaan Minyak Negara), memang pemegang tunggal kuasa pertambangan Migas, tetapi kontrak bagi hasil dari eksploitasi sampai pemasarannya diberikan ke perusahaan-perusahaan besar.
Sementara penghasilan negara dari sektor pengelolaan sumberdaya alam ini tidaklah langsung 'menetas' pada masyarakat lokal di sekitar sumberdaya alam itu sendiri (seperti yang diagungkan oleh pendekatan trickle down effect), melainkan lebih banyak ke kantong para pengusahanya dan ke pusat pemerintahannya. Tingkat korupsi yang tinggi, lemahnya pengawasan, kurangnya transparansi serta akuntabilitas pemerintah menyebabkan upaya untuk meningkatkan kemakmuran rakyat sebesar-besarnya dari sektor pengelolaan sumberdaya alam menjadi kabur dalam praktiknya.
Semoga kedepannya pengelolaan sumber energi tidak demikian. Ada arah kebijakan dan keberpihakan negara terhadap rakyat. Demi kemakmuran yang sesungguhnya dan tidak semata fatamorgana.
Sumber : http://www.businessreview.co.id/kebijakan-bisnis-ekonomi-1932.html
0 komentar:
Posting Komentar