Riset Iptek Nuklir Bisa Hasilkan Kedelai Unggul
Di tengah hiruk pikuk krisis kedelai, muncul nama Harry Is Mulyana. Periset kedelai sejak 1982 di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) itu menyesalkan krisis yang terjadi saat ini.
Penemu enam varietas kedelai nasional yang sudah diuji coba di 23 provinsi ini mengatakan krisis kedelai tidak perlu terjadi bila pemerintah berpihak kepada petani. Lebih jauh tentang krisis kedelai, berikut petikan wawancara dengan Harry Is Mulyana.
Apa saja varietas kedelai yang anda hasilkan?
Awalnya varietas guntur pada 1983, kemudian varietas Muria pada 1987. Keunggulan varietas hasil iradiasi nuklir ini tahan penyakit karat daun karena adanya bakteri rhizobium yang menempel pada bintil akar. Bakteri ini menyebabkan kedelai memiliki antibodi sehingga tidak gampang kena penyakit.
Kemudian pada 1991 muncul varietas Tengger yang ditanam di tanah genjah. Delapan tahun kemudian ditanam varietas Meratus. Barulah pada 2004 diterbitkan varietas Rajabasa yang hanya bisa ditanam di tanah yang pH lebih rendah atau lahan gambut. Varietas Rajabasa ini tumbuh subur di wilayah gambut Kalimantan.
Saya kemudian mengembangkan varietas Mitani yang tahan penyakit karat daun serta serangga apis penyebab virus pada kedelai. Dua tahun kemudian muncul Mutiara-1. Ukuran kedelainya lebih besar. Varietas Mutiara-1 saya ciptakan karena terinspirasi kedelai impor yang besar-besar.
Sudah uji lokasi dimana saja? Sudah di 23 propinsi. Tidak semua saya ingat di kota atau di kabupaten mana. Untuk Jawa Timur di Blitar, Jember, Banyuwangi, sedangkan pusat penelitian kedelainya di Malang. Kemudian di Jawa Tengah ada di Grobogan deket Semarang. Di Grobogan ada varietas kedelai lokal yang jadi ikon daerah, namanya varietas kedelai Grobogan. Di Jawa Barat ada di Garut dan Majalengka. Di Kalimantan juga ada, Sulawesi, Sumatera, Sumatera, Nusa Tenggara, dan Bali. Papua dan Maluku belum, karena dana riset kami terbatas.
Apa keunggulan Mutiara-1 jika dibandingkan dengan varietas kedelai impor?
Varietas Mutiara-1 ini memiliki berat rata-rata 23,3 gram per 100 biji, atau dua kali lipat dari rata-rata kedelai unggul nasional yang beratnya 12-15 gram per 100 biji. Kedelai Mutiara-1 ini mampu mensubtitusi kebutuhan industri tahu tempe nasional yang saat ini masih bergantung pada kedelai impor. Hasil uji ternyata kandungan proteinnya tinggi mencapai 37,7 % rasanya lebih gurih karena kandungan minyaknya lebih banyak. Kalau kedelai impor pasti bukan kedelai segar, stock lama. Rasanya tidak gurih.
Ada keunggulan lainnya?
Varietas Mutiara-1 mempunyai rendemen tahu mencapai 373,3% dan rendemen tempe sebesar 193,3%. Artinya setiap 1 Kg kedelai Mutiara-1 mampu menghasilkan 3,77 Kg tahu dan 1,933 Kg tempe, sedangkan kedelai impor hanya mencapai 323% untuk rendemen tahu dan 188,3% untuk rendemen tempe.
Kedelai varietas Mutiara-1 ini mempunyai rata-rata hasil yang tinggi mencapai 2,43 ton per/ha di atas produksi rata-rata varietas Burangrang maupun varietas Wilis yang mencapai 2,2 ton dan 2,3 ton/ha. Sedangkan Rajabasa yang baru saja dipanen di Maros, Sulawesi Selatan, mampu mencapai 4 ton/ha.
Apakah kedelai non impor bisa memenuhi kebutuhan nasional?
Oh, jelas sudah bisa memenuhi kebutuhan nasional. Dari uji lokasi saja sudah terbaca berapa kemampuan produksinya. Contohnya di Maros, Sulawesi Selatan baru saja panen varietas Rajabasa sebanyak 4 ton/ha. Ini sama dengan di Jambi. Kemudian di Banyuwangi rata-rata panen untuk varietas Mitani dan Rajabasa rata-rata 2,5 ton/ha. Kenapa berbeda, karena tergantung kondisi alamnya.
Namun rata-rata produksi nasional 1,3 ton/ha sekarang ini harus ditingkatkan menjadi 1,6 ton/ha untuk bisa swasembada. Apalagi 2 ton/ha. Sebenarnya bisa digenjot sampai disitu. Semua itu sangat tergantung dengan bagaimana sikap pemerintah.
Kalau dulu bisa (swasembada), sekarang harusnya bisa lebih maju lagi bukan malahan menjadi pengimpor. Masalahnya ada di tata niaga petani kesulitan harga, makanya hanya mampu segitu saja, kalau mau ditambah, bisa, tapi keberpihakan pada petani tidak ada.
Dari segi teknologi pertanian, apakah Indonesia sudah menguasai?
Sudah, di Indonesia banyak sekali varietas unggulan baik lokal maupun nasional. Ini harus dilindungi dan dikembangkan.Masalahnya bagaimana pemerintah mendukung semua ini. Mulai dari harga, lahan, dan sebagainya.Pemerintah harusnya mendorong petani menanam kedelai dengan tetap memberi kesejahteraan kepada petani.
Sumber : http://ads2.kompas.com/layer/batan/home/index/36
Penemu enam varietas kedelai nasional yang sudah diuji coba di 23 provinsi ini mengatakan krisis kedelai tidak perlu terjadi bila pemerintah berpihak kepada petani. Lebih jauh tentang krisis kedelai, berikut petikan wawancara dengan Harry Is Mulyana.
Apa saja varietas kedelai yang anda hasilkan?
Awalnya varietas guntur pada 1983, kemudian varietas Muria pada 1987. Keunggulan varietas hasil iradiasi nuklir ini tahan penyakit karat daun karena adanya bakteri rhizobium yang menempel pada bintil akar. Bakteri ini menyebabkan kedelai memiliki antibodi sehingga tidak gampang kena penyakit.
Kemudian pada 1991 muncul varietas Tengger yang ditanam di tanah genjah. Delapan tahun kemudian ditanam varietas Meratus. Barulah pada 2004 diterbitkan varietas Rajabasa yang hanya bisa ditanam di tanah yang pH lebih rendah atau lahan gambut. Varietas Rajabasa ini tumbuh subur di wilayah gambut Kalimantan.
Saya kemudian mengembangkan varietas Mitani yang tahan penyakit karat daun serta serangga apis penyebab virus pada kedelai. Dua tahun kemudian muncul Mutiara-1. Ukuran kedelainya lebih besar. Varietas Mutiara-1 saya ciptakan karena terinspirasi kedelai impor yang besar-besar.
Sudah uji lokasi dimana saja? Sudah di 23 propinsi. Tidak semua saya ingat di kota atau di kabupaten mana. Untuk Jawa Timur di Blitar, Jember, Banyuwangi, sedangkan pusat penelitian kedelainya di Malang. Kemudian di Jawa Tengah ada di Grobogan deket Semarang. Di Grobogan ada varietas kedelai lokal yang jadi ikon daerah, namanya varietas kedelai Grobogan. Di Jawa Barat ada di Garut dan Majalengka. Di Kalimantan juga ada, Sulawesi, Sumatera, Sumatera, Nusa Tenggara, dan Bali. Papua dan Maluku belum, karena dana riset kami terbatas.
Apa keunggulan Mutiara-1 jika dibandingkan dengan varietas kedelai impor?
Varietas Mutiara-1 ini memiliki berat rata-rata 23,3 gram per 100 biji, atau dua kali lipat dari rata-rata kedelai unggul nasional yang beratnya 12-15 gram per 100 biji. Kedelai Mutiara-1 ini mampu mensubtitusi kebutuhan industri tahu tempe nasional yang saat ini masih bergantung pada kedelai impor. Hasil uji ternyata kandungan proteinnya tinggi mencapai 37,7 % rasanya lebih gurih karena kandungan minyaknya lebih banyak. Kalau kedelai impor pasti bukan kedelai segar, stock lama. Rasanya tidak gurih.
Ada keunggulan lainnya?
Varietas Mutiara-1 mempunyai rendemen tahu mencapai 373,3% dan rendemen tempe sebesar 193,3%. Artinya setiap 1 Kg kedelai Mutiara-1 mampu menghasilkan 3,77 Kg tahu dan 1,933 Kg tempe, sedangkan kedelai impor hanya mencapai 323% untuk rendemen tahu dan 188,3% untuk rendemen tempe.
Kedelai varietas Mutiara-1 ini mempunyai rata-rata hasil yang tinggi mencapai 2,43 ton per/ha di atas produksi rata-rata varietas Burangrang maupun varietas Wilis yang mencapai 2,2 ton dan 2,3 ton/ha. Sedangkan Rajabasa yang baru saja dipanen di Maros, Sulawesi Selatan, mampu mencapai 4 ton/ha.
Apakah kedelai non impor bisa memenuhi kebutuhan nasional?
Oh, jelas sudah bisa memenuhi kebutuhan nasional. Dari uji lokasi saja sudah terbaca berapa kemampuan produksinya. Contohnya di Maros, Sulawesi Selatan baru saja panen varietas Rajabasa sebanyak 4 ton/ha. Ini sama dengan di Jambi. Kemudian di Banyuwangi rata-rata panen untuk varietas Mitani dan Rajabasa rata-rata 2,5 ton/ha. Kenapa berbeda, karena tergantung kondisi alamnya.
Namun rata-rata produksi nasional 1,3 ton/ha sekarang ini harus ditingkatkan menjadi 1,6 ton/ha untuk bisa swasembada. Apalagi 2 ton/ha. Sebenarnya bisa digenjot sampai disitu. Semua itu sangat tergantung dengan bagaimana sikap pemerintah.
Kalau dulu bisa (swasembada), sekarang harusnya bisa lebih maju lagi bukan malahan menjadi pengimpor. Masalahnya ada di tata niaga petani kesulitan harga, makanya hanya mampu segitu saja, kalau mau ditambah, bisa, tapi keberpihakan pada petani tidak ada.
Dari segi teknologi pertanian, apakah Indonesia sudah menguasai?
Sudah, di Indonesia banyak sekali varietas unggulan baik lokal maupun nasional. Ini harus dilindungi dan dikembangkan.Masalahnya bagaimana pemerintah mendukung semua ini. Mulai dari harga, lahan, dan sebagainya.Pemerintah harusnya mendorong petani menanam kedelai dengan tetap memberi kesejahteraan kepada petani.
Sumber : http://ads2.kompas.com/layer/batan/home/index/36
0 komentar:
Posting Komentar