Tinjauan Yuridis atas Rencana Pembangunan PLTN di Indonesia
Oleh: Robert Pasaribu, SH, MH.
A. Pendahuluan.
Untuk memenuhi kebutuhan listrik di masa datang, Pemerintah merencanakan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia. Rencana untuk membangun PLTN di Indonesia sebenarnya sudah cukup lama. Ide pertama untuk pembangunan dan pengoperasian PLTN sudah dimulai pada tahun 1956 dalam bentuk pernyataan dalam seminar-seminar yang diselenggarakan di beberapa universitas di Bandung dan Yogyakarta.
Rencananya, PLTN pertama yang akan dibangun tersebut berlokasi di Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah. Kapasitas PLTN Muria tersebut akan mencapai 4000 Megawatt, yang akan dibangun secara bertahap. Sebagaimana dilansir oleh Detikfinance.com (11/09/2006), disebutkan bahwa proyek pembangunan PLTN ini rencananya akan terealisasi pada 2016/2017. Karena itu, pembangunan fisik PLTN ini paling lambat harus sudah dimulai pada 2010/2011. Dengan demikian, tender mengenai pembangunan PLTN sudah harus dilakukan pada 2008. Kemudian Detikfinance.com (29/3/2007) juga melansir bahwa Indonesia akan menggandeng sejumlah negara yang unggul di bidang nuklir untuk pembangunan PLTN pertama.
Namun kerja sama ini masih harus menunggu keputusan dari presiden soal pembentukan Nuclear Energy Planning Implementation Organization (NEPIO), yang nantinya akan menentukan siapa pemilik PLTN yang akan dibangun. Selanjutnya pemilik PLTN akan menunjuk siapa vendornya. Itulah sekedar gambaran perkembangan rencana pembangunan PLTN di Indonesia saat ini.
Tulisan ini tidak hendak membicarakan mengapa rencana pembangunan PLTN tersebut sampai sekarang belum dapat direalisasikan. Tulisan ini juga tidak bermaksud untuk men-judge langkah-langkah yang dilakukan maupun statement tersebut diatas. Tulisan singkat ini hanya akan membahas ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pembangunan PLTN di Indonesia, khususnya mengenai siapa yang melaksanakan atau pelaksana dan mekanisme pembangunan PLTN serta masalah-masalah yang mungkin akan timbul dalam pelaksanaannya. Hal ini perlu untuk diketahui dan dipahami masyarakat, sehingga dapat melihat sudah sampai sejauh manakah rencana pembangunan PLTN tersebut berjalan sesuai dengan tahapan-tahapan pembangunan PLTN menurut ketentuan peraturan perundang-undangan dan apakah langkah-langkah tersebut sudah on the track.
B. Pelaksana Pembangunan PLTN.
Dasar hukum dari kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan ketenaganukliran di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (selanjutnya disingkat UUK), yang disahkan pada tanggal 10 April 1997. UUK merupakan pengganti dari UU Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom. Dalam UUK ini pulalah diatur ketentuan mengenai pembangunan PLTN, yaitu dalam Pasal 13 ayat (3) dan ayat (4). Meski singkat dan sederhana (hanya dua ayat dalam satu pasal), ketentuan inilah yang menjadi dasar atau landasan dari pembangunan PLTN di Indonesia.
Pasal 13 ayat (3) UUK menyebutkan: “Pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning reaktor nuklir komersial dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan/atau badan swasta”. Dari bunyi Pasal 13 ayat (3) UUK tersebut, kita dapat melihat bahwa ketentuan pasal ini terdiri atas dua hal.
Pertama, tentang perbuatan atau lingkup kegiatan (apa yang dilaksanakan atau melaksanakan apa?); kedua, tentang subjek atau pelakunya (siapa yang melaksanakan atau dilaksanakan oleh siapa?).
Dalam hal perbuatan atau lingkup kegiatan secara eksplisit disebutkan tiga kegiatan, yaitu: pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning reaktor nuklir komersial. UUK tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan istilah “pembangunan” dan “pengoperasian”, UUK hanya mendefinisikan istilah “dekomisioning” saja, yaitu suatu kegiatan untuk menghentikan beroperasinya reaktor nuklir secara tetap, antara lain, dilakukan pemindahan bahan bakar nuklir dari teras reaktor, pembongkaran komponen reaktor, dekontaminasi, dan pengamanan akhir.[2] Yang dimaksud dengan “pembangunan” adalah kegiatan yang dimulai dari penentuan tapak sampai dengan penyelesaian konstruksi.[3] Tapak adalah lokasi di daratan yang dipergunakan untuk pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning, satu atau lebih reaktor nuklir beserta sistem terkait lainnya.
Konstruksi adalah kegiatan membangun reaktor nuklir di tapak yang sudah ditentukan, mulai dari persiapan atau pengecoran pertama pondasi sampai dengan pemasangan dan pengujian komponen reaktor beserta sistem penunjang hingga teras reaktor tersebut siap diisi dengan bahan bakar nuklir. Sedang em>pengoperasian adalah kegiatan yang mencakup komisioning dan operasi reaktor nuklir.[4] Komisioning adalah kegiatan pengujian untuk membuktikan bahwa sistem, struktur, dan/atau komponen reaktor nuklir terpasang yang dioperasikan dengan bahan bakar nuklir memenuhi persyaratan dan kriteria desain, sedang operasi adalah kegiatan operasi reaktor nuklir secara aman dan selamat sesuai dengan desain dan tujuan pemanfaatannya.
Reaktor nuklir merupakan alat atau instalasi yang dijalankan dengan bahan bakar nuklir yang dapat menghasilkan reaksi inti berantai yang terkendali. Reaktor nuklir ini dapat digunakan untuk pembangkitan daya, penelitian, dan produksi radioisotop. Sehingga, dilihat dari sudut tujuan penggunaan/out-putnya, reaktor nuklir dibedakan menjadi reaktor daya (reaktor yang digunakan untuk pembangkitan daya/energi listrik, seperti PLTN) dan reaktor non daya (reaktor yang digunakan untuk penelitian dan/atau produksi/pembuatan radioisotop).
Kemudian, baik reaktor daya maupun reaktor non daya dibedakan lagi dari sudut tujuan pemanfaatannya, yaitu komersial dan non komersial. Oleh karena itu kegiatan atau perbuatan yang dimaksud dalam pasal 13 ayat (3) ini sangat luas, yaitu mulai dari penentuan tapak dimana reaktor nuklir komersial akan dibangun, penyelesaian konstruksi, komisioning, operasi reaktor nuklir, hingga kegiatan untuk menghentikan beroperasinya reaktor nuklir secara tetap (dekomisioning).
Kedua, tentang pelakunya atau siapa yang melaksanakan kegiatan tersebut, atau dalam ayat ini digunakan istilah “dilaksanakan oleh”. Istilah “dilaksanakan oleh” ini merupakan istilah ambigouos. Istilah ini dapat mengandung makna sebatas hanya melaksanakan pekerjaan atau sebagai “kontraktor” saja, tetapi bukan sebagai operator atau owner, atau pengusaha instalasi nuklir.
Pasal 13 ayat (3) UUK tidak menjelaskan lebih jauh ketentuan ini, bunyi penjelasannya: “cukup jelas”. Ketidakjelasan pengertian ini dapat menimbulkan pertanyaan: apakah BUMN, koperasi, dan/atau badan swasta tersebut hanya sekedar melaksanakan pekerjaan pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning reaktor nuklir komersial, atau sebagai operator atau pengusaha?
Meski UUK tidak tegas menyebutkan, Penulis cenderung untuk menafsirkan istilah “dilaksanakan oleh” dalam UU ini, dalam kapasitasnya sebagai operator atau sebagai “Pengusaha instalasi nuklir”, yaitu badan hukum yang bertanggung jawab dalam pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning reaktor nuklir (Pasal 1 angka 20 PP Nomor 43 Tahun 2006).
Berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (3) UUK tersebut, secara eksplisit ditegaskan bahwa ada tiga institusi pelaksana atau yang melaksanakan pembangunan PLTN, yaitu: BUMN, koperasi, dan badan swasta. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan ini boleh dikatakan bahwa pemerintah tidak memiliki lagi atau telah melepaskan hak eksklusifnya atas pembangunan PLTN. Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan berdasarkan UU yang lama, dimana menurut UU Pokok Tenaga Atom pemerintah memberi kewenangan kepada BATAN untuk melaksanakan pemanfaatan tenaga nuklir dalam arti yang seluas-luasnya, termasuk pelaksananaan pembangunan PLTN. Sedang menurut UUK Badan Pelaksana diberi tugas yang terbatas untuk melaksanakan pemanfaatan tenaga nuklir yang bersifat non komersial saja.
C. Penetapan Pembangunan PLTN.
Pasal 13 ayat (4) UUK menyebutkan: “Pembangunan reaktor nuklir komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berupa pembangkit listrik tenaga nuklir, ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembangunan PLTN ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR.Dalam penjelasannya disebutkan: “Pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Konsultasi itu dilakukan untuk setiap tapak dimana satu atau lebih pembangkit listrik tenaga nuklir akan dibangun. Dalam konsultasi ini Pemerintah harus memperhatikan sungguh-sungguh pendapat dan saran Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan hasil konsultasi tersebut dihormati dan dijadikan pedoman oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (4) beserta penjelasannya tersebut diatas, maka jelaslah bahwa setidaknya ada tiga tahapan atau langkah-langkah yang perlu dilakukan sebelum sampai pada tahapan pelaksanaan pembangunan PLTN.
Pertama,menetapkan Tapak PLTN. Secara umum, pengertian tapak adalah suatu tempat atau lokasi dimana suatu PLTN akan dibangun. Namun PP 43 Tahun 2006 membatasi pengertian tapak hanya lokasi di daratan saja.[5] Berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (4) UUK, maka langkah pertama yang mesti dilakukan adalah memilih atau menetapkan tapak atau lokasi dimana PLTN tersebut akan dibangun. Langkah ini merupakan langkah penting untuk tahapan berikutnya, yaitu Pemerintah berkonsultasi dengan DPR. Berdasarkan studi lokasi PLTN, bahwa Semenanjung Muria adalah lokasi yang paling ideal dan diusulkan agar digunakan sebagai lokasi pembangunan PLTN yang pertama di Indonesia.[6] Meski lokasi ideal pembangunan PLTN sudah ada, namun hingga saat ini tampaknya belum ada pernyataan/ keputusan resmi dari pihak-pihak yang akan melaksanakan pembangunan PLTN bahwa di tempat /lokasi tersebut PLTN akan dibangun. Bila lokasi dimana PLTN mau dibangun saja belum ditentukan, apa yang mau dikonsultasikan Pemerintah dengan DPR?
Kedua, konsultasi Pemerintah dan DPR.Sebelum menetapkan pembangunan PLTN, Pemerintah harus terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR. Penjelasan Pasal 13 ayat (4) menyebutkan bahwa konsultasi itu dilakukan untuk setiap tapak dimana satu atau lebih PLTN akan dibangun. Disana dengan tegas disebutkan “untuk setiap tapak”, jadi jelaslah bahwa disini kata kuncinya adalah “tapak”. Hal ini berarti bahwa konsultasi antara Pemerintah dan DPR dilaksanakan setelah tapak dimana PLTN akan dibangun sudah dipilih atau ditetapkan. Dengan kata lain, lokasi dimana PLTN akan dibangun sudah jelas.
Sehubungan dengan konsultasi antara Pemerintah dan DPR ini, dapat timbul pertanyaan, bagaimana bentuk konsultasi tersebut? Apakah misalnya DPR dapat diwakili oleh Pimpinan DPR atau pimpinan fraksi saja atau harus dengan seluruh anggota Dewan (paripurna)? Apakah pemerintah cukup diwakili oleh satu orang menteri saja (misalnya oleh menteri yang menangani bidang energi) atau beberapa orang menteri atau harus dilakukan sendiri/dihadiri oleh Presiden? Sebagaimana diketahui, sesuai dengan Tata Tertib DPR, konsultasi antara DPR dengan Lembaga Negara dilaksanakan dalam bentuk: pertemuan antara Pimpinan DPR dengan Pimpinan Lembaga Negara yang lain, pertemuan antara Pimpinan DPR bersama unsur Pimpinan Fraksi DPR dengan Pimpinan Lembaga Negara yang lain, pertemuan antara Pimpinan DPR, Pimpinan Fraksi, dan Pimpinan alat kelengkapan DPR lainnya yang ruang lingkup tugasnya terkait dengan pokok masalah yang dibahas dengan Pimpinan Lembaga Negara yang lain, dan pertemuan antara Pimpinan DPR, Pimpinan Fraksi, dan alat kelengkapan DPR lainnya sesuai dengan ruang lingkup tugasnya dengan Pimpinan dan/atau unsur jajaran Lembaga Negara yang lain.
Berdasarkan Peraturan
Tata Tertib DPR tersebut, maka menurut penulis konsultasi antara Pemerintah dan DPR tersebut harus berupa pertemuan antara Presiden dan Pimpinan DPR. Kemudian, masalah lainnya yang mungkin timbul sehubungan dengan konsultasi ini adalah bagaimana seandainya DPR menolak berkonsultasi atau membatalkan konsultasi? Seperti kita ketahui bahwa DPR pernah membatalkan agenda rapat konsultasi dengan Presiden soal rencana kenaikan harga BBM pada bulan Mei 2008 (AntaraNews, 22/5/2008). Atau bagaimana seandainya Pemerintah tetap nekat menetapkan pembangunan PLTN tanpa memperhatikan sungguh-sungguh pendapat dan saran DPR?
Ketiga, ditetapkan oleh Pemerintah. Setelah berkonsultasi dengan DPR barulah Pemerintah menetapkan pembangunan PLTN. Sebagaimana diketahui bahwa pembangunan PLTN dilaksanakan oleh BUMN, koperasi, dan/atau badan swasta.
Dalam hal ini Pemerintah hanya menetapkan pembangunan PLTN saja, jadi bukan melaksanakan pembangunan PLTN. Sehubungan dengan penetapan pembangunan PLTN ini dapat timbul pertanyaan, bagaimana atau dalam bentuk apa Pemerintah menetapkan pembangunan PLTN tersebut? Apakah dengan Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden? UUK tidak dengan tegas mengatur hal ini.
D. PP Nomor 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir.
Pasal 5 ayat (4) PP Nomor 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir menyebutkan: “Pembangunan reaktor daya komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berupa pembangkit listrik tenaga nuklir, ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang tenaga listrik setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”. Kalau kita perhatikan Pasal 5 ayat (4) PP 43 Tahun 2006 ini, tampaknya substansi yang diaturnya nyaris sama dengan Pasal 13 ayat (4) UUK, yaitu tentang yang menetapkan pembangunan PLTN.
Bedanya, pertama, dalam soal istilah dalam UUK disebut “reaktor nuklir”, sedang dalam PP disebut “reaktor daya”, tetapi keduanya sama-sama yang bersifat “komersial” dan “yang berupa PLTN”. Kedua, perihal siapa yang menetapkan, menurut UUK yang menetapkan adalah Pemerintah, sedang menurut PP adalah menteri.
Pertanyaannya, apakah “reaktor nuklir komersial yang berupa PLTN” berbeda dengan “reaktor daya komersial yang berupa PLTN”? Tampaknya keduanya sama. Lantas, kalau sama mengapa dalam UUK disebutkan ditetapkan oleh pemerintah, sedang menurut PP ditetapkankan oleh menteri? Apakah pemerintah sama dengan menteri?
Dari sudut aparatur, menteri memang merupakan aparat pemerintah dan pemerintah kadang bahkan sering diwakili oleh menteri khususnya dalam pembahasan suatu RUU di DPR. Namun demikian, dari sudut ilmu perundang-undangan ada perbedaan antara ditetapkan oleh pemerintah dan ditetapkan oleh menteri. Bila disebutkan ditetapkan oleh pemerintah maka produk hukumnya kemungkinan adalah PP, Perpres atau Keppres. Sedang bila disebutkan ditetapkan oleh menteri, maka kemungkinan produk hukumnya adalah Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri. Hierarkinya jelas berbeda.
Dengan demikian, ketentuan Pasal 5 ayat (4) PP dapat timbul kesan dualisme aturan. Walau demikian, sesuai dengan asas-asas peraturan perundang-undangan bahwa aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, maka aturan/ketentuan yang menetapkan bahwa pembangunan PLTN ditetapkan oleh menteri tidak berlaku. Selain itu, kalau kita lihat ketentuan Pasal 13 UUK, tampaknya tidak mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dalam PP, dengan kata lain hal ini berarti bahwa penetapan ini tidak dapat didelegasikan. Selain itu, kalau kita lihat penjelasan Pasal 5 (4) PP Nomor 43 Tahun 2006, tampaknya kurang tepat/tidak nyambung dengan substansi pasal yang diatur.[7] Substansi yang diatur dalam Pasal 5 (4) PP Nomor 43 Tahun 2006 adalah penetapan pembangunan PLTN, sedang dalam penjelasannya mengenai penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), meskipun antara pembangunan PLTN berhubungan dengan RUKN namun substansi permasalahannya berbeda.
E. Penutup.
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa berdasarkan UUK pembangunan PLTN hanya dapat dilaksanakan oleh BUMN, koperasi, dan/atau badan swasta. Oleh karena itu, apabila pemerintah ingin atau berencana membangun PLTN, maka sebaiknya pemerintah membentuk BUMN, atau bila memang memungkinkan “menugaskan” BUMN yang sudah ada, untuk melaksanakan pembangunan PLTN tersebut yaitu mulai dari pemilihan tapak dimana lokasi PLTN akan dibangun. Sehingga, Pemerintah tidak secara langsung menangani/mengurusi pembangunan PLTN. Hal ini untuk menghindarkan kesan seolah-olah Pemerintah yang mau membangun PLTN.
Selanjutnya, sesuai dengan tahapan atau langkah pertama apabila ingin membangun PLTN di Indonesia adalah memilih atau menetapkan tapak atau lokasi dimana PLTN akan dibangun, kemudian Pemerintah berkonsultasi dengan DPR, selanjutnya Pemerintah menetapkan pembangunan PLTN tersebut. Setelah ditetapkan oleh Pemerintah barulah pelaksanaan pembangunan PLTN itu sendiri dapat dimulai.
Tulisan ini merupakan pandangan pemikiran pribadi semata-mata agar rencana pembangunan PLTN di Indonesia berjalan on the track sesuai dengan UUK dan dapat terwujud sesuai dengan harapan. Semoga!.
*****
DAFTAR PUSTAKA
1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran
2. PP Nomor 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir.
3. Peraturan Tata Tertib DPR.
4. DetikFinance, 11 September 2006.
5. DetikFinance, 29 Maret 2007.
6. AntaraNews, 22 Mei 2008.
[1] Penulis adalah Perancang Peraturan Perundang-undangan.
[2] Pasal 1 angka 13 UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
[3] Pasal 1 angka 5 PP Nomor 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir.
[4] Pasal 1 angka 6 PP Nomor 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir.
[5] Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir, menyebutkan: “Tapak adalah lokasi di daratan yang dipergunakan untuk
pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning, satu atau lebih reaktor nuklir
beserta sistem terkait lainnya”.
[6] PPEN-BATAN, Sejarah Singkat Program Pembangunan PLTN di Indonesia, 1,
(http://www.batan.go.id/ppen/tu/SejarahPLTN.htm)
[7] Penjelasan Pasal 5 ayat (4) PP Nomor 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir, menyebutkan: “Yang ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang tenaga listrik adalah Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional dalam rangka terwujudnya keamanan pasokan energi tenaga listrik di dalam negeri, tetapi tidak termasuk perizinan reaktor nuklir”.
Dikutip dari : http://www.legalitas.org/content/tinjauan-yuridis-rencana-pembangunan-pltn-indonesia#_ftn1
0 komentar:
Posting Komentar