Open Source Software : Antara Harapan dan Kenyataan di Lapangan
Pendahuluan
"Open Source Software" (OSS), menurut Esther Dyson (1998), didefinisikan sebagai perangkat lunak yang dikembangkan secara gotong-royong tanpa koordinasi resmi, menggunakan kode program (source code) yang tersedia secara bebas, serta didistribusikan melalui internet. Menurut Richard Stallman (1998), budaya gotong royong pengembangan perangkat lunak itu sendiri, telah ada sejak komputer pertama kali dikembangkan. Namun ketika dinilai memiliki nilai komersial, pihak industri perangkat lunak mulai memaksakan konsep mereka perihal kepemilikan perangkan lunak. Dengan dukungan finansial yang kuat -- secara sepihak -- mereka membentuk opini masyarakat bahwa penggunaan perangkat lunak tanpa izin/ lisensi merupakan tindakan kriminal.
Tidak semua pihak menerima konsep kepemilikan tersebut di atas. Richard Stallman (1994, 1996) beranggapan bahwa perangkat lunak merupakan sesuatu yang seharusnya selalu boleh dimodifikasi. Menyamakan hak cipta perangkat lunak dengan barang cetakan merupakan perampasan kemerdekaan berkreasi. Semenjak pertengahan tahun 1980-an, yang bersangkutan merintis proyek GNU (GNU is Not Unix) -- dengan tujuan memberdayakan kembali para pengguna (users) dengan kebebasan (freedom) menggunakan dan mengembangkan sebuah perangkat lunak. Proyek ini memperkenalkan konsep copyleft yang pada dasarnya mengadopsi prinsip copyright, namun prinsip tersebut digunakan untuk menjamin kebebasan berkreasi. Jaminan tersebut berbentuk pelampiran source code, serta pernyataan bahwa perangkat lunak tersebut boleh dimodifikasi asalkan tetap mengikuti prinsip copyleft. Konsep dari proyek GNU ini lebih dikenal dengan istilah "free software".
Prinsip-prinsip free software tersebut memiliki banyak kesamaan dengan OSS. Namun menurut Richard Stallman (1998), free software lebih menekankan pada hal hakiki yaitu kebebasan mengembangkan perangkat lunak. Sedangkan menurut Eric S. Raymond (2000), OSS lebih menekankan aspek komersial seperti kualitas tinggi, kecanggihan, dan kehandalan. Dengan demikian, konsep OSS diharapkan lebih menarik perhatian pelaku bisnis, investor, dan bahkan para raksasa perangkat lunak. Bahkan Esther Dyson (1998) memperkirakan, bahwa raksasa seperti Microsoft pun akan memperhitungkan serta memanfaatkan OSS, seperti halnya mereka memanfaatkan internet.
Konteks pembahasan tulisan ini ialah posisi kelompok negara yang sedang berkembang dalam memanfaatkan OSS. Negara seperti ini terkadang diobok-obok oleh lembaga-lembaga dunia seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) dengan penunggangan agenda-agenda lain secara terselubung. Penunggangan tersebut umpamanya berupa pemaksaan sepihak, terhadap pengertian konsep Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Dengan demikian, yang secara tidak langsung mereka telah menuduh masyarakat kita sebagai pembajak, pencuri, tidak bermoral, tidak menjunjung nilai etika, dan sejenisnya. Perlu diingatkan bahwa negara kita bukan satu-satunya surga perangkat lunak tidak berlisensi. Hal ini sudah mendarah daging di seluruh Asia. Kita hanya kalah melakukan public relation dalam hal pura-pura aktif melakukan pemberantasan. Bahkan di sebuah negara Asia Tenggara yang konon sudah "maju" dan "beradab", ditemukan perangkat lunak tanpa lisensi secara melimpah-ruah.
Cikal Bakal Tradisi OSS
Sekilas telah terungkap perihal manfaat dari OSS serta potensi penyelesaian problema yang dihadapi oleh dunia ketiga. Namun selain tidak trivial, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pengadopsian OSS tidak berjalan mulus di semua sektor. Bagian ini akan mengkaji rangkaian peristiwa yang pernah terjadi milenium yang lalu di Indonesia pada umumnya, dan Universitas Indonesia pada khususnya. Banyak kejadian pada saat tersebut yang tidak terdokumensi secara sistematis, sehingga pembahasan ini semata berdasarkan catatan pribadi (Samik-Ibrahim, 1998a, 2000a, 2000b). Namun, diharapkan sudah cukup untuk memberikan gambaran perihal rangkaian kejadian pada saat tersebut.
Hingga 1970an, perangkat keras komputer berbentuk main frame atau mini yang dikelola oleh sebuah tim yang eksklusif di dalam sebuah "ruang kaca" yang steril. Populasi komputer secara keseluruhan sangat sedikit berhubung harganya sangat mahal. Pemeliharaan instalasi komputer dipercayakan kepada agen pemasok (supplier), sehingga supervisi kepemilikan perangkat lunak dapat dilakukan secara relatif ketat. Walau pun demikian, terkandang para pemasok tersebut meminjamkan perangkat lunak tanpa seizin pemilik lisensi.
Tahun 1980an ditandai dengan kemunculan komputer Apple II berbasis 6502 /1 MHz dengan opsi tambahan prosesor Zilog Z80/ 2 MHz. Komputer ini menggunakan media penyimpanan disket yang mudah digandakan, sehingga memudahkan pendistribusian perangkat lunak Public Domain (PD) maupun Shareware. Namun, media disket ini pun menyebabkan kehadiran perangkat lunak tanpa lisensi yang sering diberi istilah perangkat lunak bajakan.
Pola penggunaan perangkat lunak tersebut dilanjutkan pada saat kehadiran PC berbasis Intel 8088 (16 bit/ 4.77 MHz/ PC/MS-DOS), serta work-station unix berbasis Motorola 68k (32 bit). Jika sebelumnya bentuk pendistribusian dalam bentuk biner, pada sistem berbasis unix juga disertakan source code dari program tersebut. Selain dengan media magnetik, pendistribusian juga mulai dilakukan melalui jaringan secara online (ARPAnet), atau pun secara batch (usenet) dengan newsgroup seperti comp.source.unix, alt.source, dan sejenisnya. Penyertaan source code dan pendistribusian melalui jaringan ini merupakan cikal bakal tradisi OSS.
Tema penelitian bidang ilmu komputer pada era 1980an ini mencakup pemodifikasian dan pem-porting-an perangkat lunak jenis PD. Motivasi penggunaan PD ini tersebut bukan berdasarkan moral, melainkan kepraktisan belaka yaitu meneruskan/ mengikuti trend penelitian di luar negeri. Beberapa perangkat lunax yang digunakan pada waktu itu seperti GCC Compiler untuk Unix, UUCP, CNEWS 2.11, X.400 ean, Silicon Compiler, Cross Compiler (Modula 2, Pascal), UIUC Notes, dan lain sebagainya.
Proses Pemasyarakatan Linux di tahun 1990an
Menjelang akhir 1980an and awal 1990an, hadir perangkat PC yang cukup canggih (i486) yang dilengkapi sistem operasi seperti SCO Xenix dan SCO Unix. Selain stabil, sistem operasi tersebut mendukung berbagai jenis perangkat keras dan perangkat aplikasi bisnis. Namun, kekurangan dari sistem tersebut diantaranya lisensi yang mahal sehingga kembali menjadi sasaran "pembajakan". Selain itu, tanpa penyertaan source-code berakibat sistem operasi tersebut sulit dimodifikasi/ fine tuning.
Pada tahun 1991, Linus Torvalds memperkenalkan kernel Linux melalui newsgroup "comp.os.minix" yang disambut oleh komunitas programer. Namun tidaklah demikian sambutan dari kalangan dunia usaha, berhubung kernel tersebut masih kurang stabil serta tidak didukung oleh perangkat asesoris yang memadai. Setahun kemudian, bung Paulus Suryono Adisoemarta dari Texas, memperkenalkan distribusi SLS dengan kernel versi 0.9 kepada masyarakat Indonesia. Sayang sekali, versi tersebut pada saat itu masih memiliki beberapa kelemahan, terutama dalam mendukung perangkat keras seperti ethernet board dan serial board. Pada tahun 1994, diperkenalkan distribusi Slackware dengan kernel versi 1.0.8 kepada masyarakat akademika di Universitas Indonesia. Distribusi ini sudah mendukung TCP/IP serta X11R4. Slackware menjadi populer dikalangan para mahasiswa UI, karena pada waktu itu merupakan satu-satunya distribusi yang ada :-). Secara bersamaan, Linux mulai digunakan pada salah satu mesin operasional IPTEKnet, yaitu MIMO.
Bersamaan dengan pengenalan distribusi ini, Internet komersial mulai hadir di Indonesia. Sustainable Development Network Indonesia dapat dikatakan merupakan merupakan proyek pertama (1994) yang menggunakan Linux di luar komunitas riset/ pendidikan. Distribusi yang digunakan ialah Slackware (kernel 1.0.9) pada mesin 486 33Mhz, 16 Mbyte RAM, 1 Gbyte disk, serta leased-line ethernet 10 Mbps ke IndoInternet. Setahun kemudian (1995), IndoInternet berhasil diyakinkan untuk mulai mengadaptasi sistem Linux. Sistem pertama yang digunakan untuk operasional merupakan router dengan tiga ethernet board (kakitiga.indo.net.id) yang digunakan untuk mensegmentasi intranet mereka. Selain itu, sistem pendaftaran domain ".ID" pun (nomad.extern.ui.ac.id), menggunakan mesin Linux.
Tanda-tanda aktivitas Linux pun mulai bermunculan serentak di mana-mana pada tahun 1995 tersebut. Bung Bambang Nurcahyo Prastowo memperkenalkan distribusi S.u.S.E 4.4.1 (kernel 2.0.29) pada masyarakat Yogyakarta. Sebuah milis Linux pernah dirintis pada tahun 1996, namun gagal karena kekurangan inersia. Setahun berikutnya, dapat dikatakan sebagai tahun kebangkitan Linux Indonesia. Sebuah milis kembali terbentuk, yang diikuti oleh berbagai InstallFest, lokakarya, seminar, serta publikasi berturut-turut di media KompuTek, Mikrodata, dan InfoKomputer. Kelompok Pengguna Linux Indonesia (KPLI) pun menjamur di berbagai kota di Indonesia. Perlu dicatat dan ditekankan, bahwa kegiatan tersebut berkembang di luar UI dan IndoInternet. Bahkan dapat dikatakan, kontribusi UI dalam memasyarakatkan Linux: "nyaris tak terdengar".
Faktor Sukses
Kesuksesan Linux di Indonesia merupakan sinergi dari sekurangnya empat faktor yang akan diungkapkan berikut ini.
Pertama, diperlukan provokator yang bertugas memperkenalkan sistem Linux melalui milis, seminar, dst. Yang bersangkutan ini tidak harus seorang pakar Linux atau pun terlibat langsung di lapangan. Provokasi ini akan berpengaruh positif terhadap opini masyarakat. Sebaliknya, sifat kepriyayian -- seperti asyik bermain sendiri di menara gading -- berpotensi sebagai faktor penghambat penyebaran Linux.
Kedua, pendekatan tidak cukup satu arah bottom up atau pun top down, namun harus ada timbal balik antara keduanya. Provokasi sehebat apa pun tidak akan bermanfaat, jika tidak ada "bahan bakar" (dukungan) yang cukup. Sebagai ilustrasi, masa inkubasi Linux di FUSILKOM UI mau pun di IndoInternet mendapat dukungan penuh baik dari pihak management mau pun dari para pengguna, termasuk partisipasi dari para mahasiswa. Harus juga disadari bahwa tidak semua gagasan akan sukses, dan tidak semua kejadian dapat diprediksi secara presisi sejak awal.
Ketiga, harus ada motivasi jelas dan kuat, dan bukan hanya sekedar retorika serta semboyan kosong. Linux menawarkan solusi murah meriah, yang mendapatkan sambutan positif dari para kelompok generasi muda yang pragmatis. Motivasi awal penggunaan Linux di UI semula hanya sebagai terminal X11 yang murah meriah, sedangkan di IndoInternet digunakan sebagai server internet (httpd, ftpd, dan smtpd) alternatif.
Terakhir, suasana dan event yang mendukung. Linux mulai marak pada tahun 1997 seiring dengan peningkatan kepopuleran internet di Indonesia (pra krismon). Inersia yang cukup akan membangkitkan reaksi rantai. Semakin banyak yang menggunakan Linux berarti semakin sedikit yang tidak menggunakan. Populasi pengguna linux yang banyak akan menarik pengguna yang lebih banyak lagi. KPLI yang muncuk dibentuk di sebuah kota dapat mendorong proses pembentukan KPLI di kota berikutnya. Selain itu, pengembangan Linux ini mendapat dukungan teknis secara gotong royong melalu milis.
Pembahasan
Pada perioda 1991 - 1994, kegiatan penyebaran Linux kurang mendapatkan sambutan. Dalam kondisi demikian, provokasi secanggih apa pun tidak akan banyak berpengaruh. Baru mulai 1994, motivasi penggunaan Linux ialah alternatif terminal X11 yang murah meriah. Setahun kemudian, Linux bahkan mulai digunakan secara operasional di sebuah penyelenggara Internet komersial. Selama 1994 - 1997 ini, momentum penggunaan Linux dalam keadaan sangat kritis yaitu: memiliki peluang sama untuk sukses atau pun gagal. Dukungan institusional (top down) dari Universitas Indonesia dan IndoInternet membantu menstabilkan momentum ini, namun tidak sampai menjadi faktor utama kesuksesan Linux di Indonesia! Justru, motor dari kesuksesan Linux ialah para profesional muda yang terjun ke bidang Internet pasca 1997.
Sayang sekali, gerakan OSS ini baru berhasil di lingkungan teknis, yang biasanya kurang tertarik untuk menggunakan OSS untuk keperluan bisnis. Diperlukan usaha ekstra untuk memajukan sektor office automation ini. Masalah ini tidak dapat hanya diatasi secara bottom-up. Dukungan pimpinan dibutuhkan untuk mendorong pengurangan secara bertahap penggunaan perangkat lunak yang dianggap tanpa lisensi sah. Dukungan top-down ini perlu ditunjukkan dengan mengangkat CIO (Chief Information Officer) yang memiliki komitmen terhadap OSS. Tidak dapat dipungkiri, bahwa usaha ini membutuhkan pengalokasian sumber daya manusia dan biaya yang tidak sedikit. Diperlukan pula unsur kolaborasinya karena banyak hal yang tidak bisa dikerjakan sendiri. Dukungan secara grass-root/ bottom-up akan membantu terbentuknya Masyarakat Digital Gotong Royong (MDGR). yang bersifat tidak formal.
Jika negara-negara yang sedang berkembang ini memanfaatkan OSS, dengan sendirinya berarti tidak menggunakan perangkat lunak yang berlisensi. Menurut I Made Wiryana (1998), inisiatif penggunaan OSS dapat dimulai oleh para pendidik bidang teknologi informasi. Harapan mulia ini berpotensi untuk menjadi solusi "win-win" untuk semua pihak. Tak lupa penulis mengingatkan -- terutama kepada diri sendiri -- bahwa para musuh-musuh OSS pada umumnya tidak akan tinggal diam menyaksikan kesuksesan gerakan OSS ini. Mereka akan mencoba secara sistematis untuk mempertahankan pangsa pasar yang telah mereka genggam. Mereka pun tidak akan henti-hentinya menjelek-jelekkan OSS, seperti menuduh tidak handal, tidak terjamin, tidak dipelihara, dst.
Rujukan
• Coldiron, Quinn P., 1997, Replacing Windows NT Server with Linux, per November 2001: http://citv.unl.edu/linux/LinuxPresentation.html.
• Dyson, Esther, 1998, The Open Source Revolution, Release 1.0, November 1998, (DEAD URL).
• Raymond, Eric S., 1997, The Cathedral and Bazaar, per November 2001: http://www.tuxedo.org/~esr/writings/cathedral-bazaar/
• Raymond, Eric S., 1998, The Halloween Documents, per November 2001: http://www.opensource.org/hallowen/.
• Raymond, Eric S., 2000, Frequently Asked Questions about Open Source, per November 2001: http://www.opensource.org/advocacy/faq.html.
• Samik-Ibrahim, Rahmat M., 1998, Refleksi Gagasan 30 September 1997/PDDT-ID, Versi 8.3 -- 27 Februari 2001, per November 2001: http://rms46.vlsm.org/1/23.html.
• Samik-Ibrahim, Rahmat M., 2000, Perintisan Linux di Indonesia, per November 2001: http://rms46.vlsm.org/00-14.html.
• Samik-Ibrahim, Rahmat M., 2000, Perintisan WWW di Indonesia, per November 2001: http://rms46.vlsm.org/00-11.html.
• Stallman, Richard M., 1994, Mengapa Perangkat Lunak Seharusnya Tanpa Pemilik, per November 2001: http://gnux.vlsm.org/philosophy/why-free.id.html.
• Stallman, Richard M., 1996, Kategori Perangkat Lunak Bebas dan Tidak Bebas, per November 2001: http://gnux.vlsm.org/philosophy/categories.id.html
• Stallman, Richard M., 1998, Proyek GNU, per November 2001: http://gnux.vlsm.org/gnu/thegnuproject.id.html.
• Wiryana, I Made, 1998, Surat terbuka kepada pada para pendidik, terutama bidang Teknologi Informasi (TI) di Indonesia, per November 2001: http://ngelmu.dhs.org/made/proposal/suratkepengajar/.
0 komentar:
Posting Komentar