Perlu Dibuka Dialog dengan Masyarakat
Perlu dibuka dialog antara pemerintah dan masyarakat luas terkait dengan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir. Selama ini banyak fakta yang terkait dengan isu PLTN yang tidak dibuka secara gamblang.
Demikian benang merah dari perbincangan dengan tiga narasumber terkait persoalan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang digelar di Jakarta, Kamis (27/1).
Hadir sebagai narasumber adalah peneliti energi independen Nengah Sudja, Presiden Masyarakat Rekso Bumi (Marem) Lilo Sunaryo, dan mantan staf Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Iwan Kurniawan yang menolak PLTN sejak 1990-an.
Ketiga narasumber mendesak dilakukannya dialog terbuka dengan semua pihak. ”Supaya kebenaran terungkap,” ujar Sudja. Lilo menuturkan pengalamannya di daerah Gunung Muria, Kudus, Jawa Tengah, yang akan dijadikan lokasi PLTN.
”Masyarakat tak tahu apa-apa tiba-tiba ada kesibukan dan tiba- tiba ada berita akan dibangun PLTN di sana,” ujar Lilo. ”Tidak pernah ada sosialisasi memadai sebelumnya.”
”Selama ini tidak pernah ada dialog terbuka soal PLTN yang melibatkan semua pihak, dengan para profesional,” tegas Iwan yang mengaku jarang sekali bisa berada satu meja dengan pihak Batan dalam berbagai kesempatan diskusi tentang PLTN.
Sudja menegaskan, ”Dengan dialog akan ada checks and balances. Ekonomi menghitung, politik memutuskan, dan hukum menetapkan.” Ditambahkannya, dialog merupakan salah satu perwujudan dari good governance. ”Di sana ada unsur transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.”
Lebih mahal
Sudja memaparkan perbandingan biaya investasi awal dari berbagai jenis pembangkit. Total capacity cost pembangkit bertenaga batu bara 1.176 dollar AS per kilowatt, pembangkit geotermal 1.370 dollar AS per kilowatt, sedangkan pembangkit tenaga nuklir 4.600 dollar AS per kilowatt.
Sudja dan Iwan menegaskan, PLTN hanya akan memperbesar ketergantungan kita kepada pihak asing. Sudja menggarisbawahi syarat mandiri energi, yaitu menguasai teknologi dan sumbernya. ”Teknologi kita tidak kuasai. Jadi dalam pengoperasiannya akan banyak tenaga asing. Sementara sumbernya, uranium, harus diolah di luar negeri sebelum bisa dipakai,” katanya.
Jika pihak Batan mengatakan sudah memiliki reaktor nuklir yang aman di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Serpong, menurut Iwan yang dimaksud reaktor skala riset yang amat berbeda karakternya dengan reaktor pembangkit listrik.
”PLTN itu dalam prosesnya, tekanannya mencapai 250 kali tekanan atmosfer dan suhunya mencapai 300 derajat celsius. Kalau bocor akan amat berbahaya. Kalau skala riset tabungnya pun bisa dibiarkan terbuka dan tidak berbahaya,” ujarnya.
Ketiga narasumber menegaskan bahwa Amerika Serikat sudah 39 tahun tidak lagi membangun PLTN baru, demikian juga negara-negara Eropa. Pembangunan PLTN kini ditawarkan ke negara-negara Asia. ”Yang ditawarkan yaitu generasi keempat yang baru skala prototipe,” tegas Iwan. (ISW)
Sumber : KOMPAS
Demikian benang merah dari perbincangan dengan tiga narasumber terkait persoalan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang digelar di Jakarta, Kamis (27/1).
Hadir sebagai narasumber adalah peneliti energi independen Nengah Sudja, Presiden Masyarakat Rekso Bumi (Marem) Lilo Sunaryo, dan mantan staf Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Iwan Kurniawan yang menolak PLTN sejak 1990-an.
Ketiga narasumber mendesak dilakukannya dialog terbuka dengan semua pihak. ”Supaya kebenaran terungkap,” ujar Sudja. Lilo menuturkan pengalamannya di daerah Gunung Muria, Kudus, Jawa Tengah, yang akan dijadikan lokasi PLTN.
”Masyarakat tak tahu apa-apa tiba-tiba ada kesibukan dan tiba- tiba ada berita akan dibangun PLTN di sana,” ujar Lilo. ”Tidak pernah ada sosialisasi memadai sebelumnya.”
”Selama ini tidak pernah ada dialog terbuka soal PLTN yang melibatkan semua pihak, dengan para profesional,” tegas Iwan yang mengaku jarang sekali bisa berada satu meja dengan pihak Batan dalam berbagai kesempatan diskusi tentang PLTN.
Sudja menegaskan, ”Dengan dialog akan ada checks and balances. Ekonomi menghitung, politik memutuskan, dan hukum menetapkan.” Ditambahkannya, dialog merupakan salah satu perwujudan dari good governance. ”Di sana ada unsur transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.”
Lebih mahal
Sudja memaparkan perbandingan biaya investasi awal dari berbagai jenis pembangkit. Total capacity cost pembangkit bertenaga batu bara 1.176 dollar AS per kilowatt, pembangkit geotermal 1.370 dollar AS per kilowatt, sedangkan pembangkit tenaga nuklir 4.600 dollar AS per kilowatt.
Sudja dan Iwan menegaskan, PLTN hanya akan memperbesar ketergantungan kita kepada pihak asing. Sudja menggarisbawahi syarat mandiri energi, yaitu menguasai teknologi dan sumbernya. ”Teknologi kita tidak kuasai. Jadi dalam pengoperasiannya akan banyak tenaga asing. Sementara sumbernya, uranium, harus diolah di luar negeri sebelum bisa dipakai,” katanya.
Jika pihak Batan mengatakan sudah memiliki reaktor nuklir yang aman di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Serpong, menurut Iwan yang dimaksud reaktor skala riset yang amat berbeda karakternya dengan reaktor pembangkit listrik.
”PLTN itu dalam prosesnya, tekanannya mencapai 250 kali tekanan atmosfer dan suhunya mencapai 300 derajat celsius. Kalau bocor akan amat berbahaya. Kalau skala riset tabungnya pun bisa dibiarkan terbuka dan tidak berbahaya,” ujarnya.
Ketiga narasumber menegaskan bahwa Amerika Serikat sudah 39 tahun tidak lagi membangun PLTN baru, demikian juga negara-negara Eropa. Pembangunan PLTN kini ditawarkan ke negara-negara Asia. ”Yang ditawarkan yaitu generasi keempat yang baru skala prototipe,” tegas Iwan. (ISW)
Sumber : KOMPAS
0 komentar:
Posting Komentar