Ocean Energy: Laut Solusi Krisis Energi
Gempa bumi yang terjadi di Jepang pada hari Jumat tanggal 11 Maret 2011 pukul 14.46 waktu setempat (12.46 WIB) dengan kekuatan 9.0 dalam skala Richer yang melanda pantai timur laut Jepang, 400 km (250 mil) dari Tokyo, telah memicu tsunami dengan ketinggian gelombang mencapai 10 meter dan meluluh-lantakkan bangunan gedung, kendaraan, perahu/kapal, jalan raya, rel kerata api yang ada didaratan dan pantai. Hal yang paling mengkawatirkan dunia sebagai dampak dari bencana itu adalah meledaknya reaktor nuklir di PLTN yang berada di sekitar tempat kejadian (Fukushima, Dai-chi). Ledakan ini memicu terjadinya polusi radiasi radioaktif yang sangat menakutkan bagi makhluk hidup yang ada di sekitarnya, bahkan manusia.
Dengan kejadian tersebut, membuat beberapa Negara didunia yang telah memiliki PLTN melakukan pengkajian ulang dan bahkan ada yang berencana mengurangi PLTN dengan mencari sumber energei alternative lainnya. Namun berbeda dengan Indonesia, sebuah Negara yang kaya akan sumber energy malah “ngotot” untuk membangun PLTN. Hal ini mendapat tantangan dari berbagai pihak, khususnya dari kalangan penggiat lingkungan dan kemanusiaan.
Indonesia memilki sumber enegri yang melimpah yang bias dikonversi menjadi tenaga listrik, mulai dari panas bumi, batu bara, bioetanol dan bahkan Ocean energy mengingat dua per tiga wilayah Indonesia adalah lautan. Ocean energy resources yang dimiliki Indonesia bisa dibilang yang terbaik dan terbesar di dunia.
Namun sayangnya, upaya untuk mengembangkan energy yang melimpah ini belum serius dikaji. Mungkin belum banyak yang mengetahui, bahwa cadangan minyak yang dimiliki Indonesia diperkirakan hanya untuk 25 tahun ke depan. Selanjutnya dari mana Negara ini akan mendapatkan energi listriknya? Jawabannya ada di laut, khususnya lautan yang berada di wilayah tropis.
Fenomena tersebut jangan lantas ditakutkan oleh Indonesia, jika kualitas manusia (SDM) di dalamnya dapat memanfaatkan dan mengelola potensi ocean energy. Karena, ocean energy merupakan alternatif energi terbaru termasuk sumber daya non-hayati yang memilik potensi besar untuk dikembangkan. Potensi energy laut mampu memenuhi empat kali kebutuhan listrik dunia, sehingga tidak mengherankan berbagai negara maju telah berlomba memanfaatkan energi laut itu.
Listrik Tenaga Pasang Surut (Tidal Energy)
Teknologi pembangkit listrik pasang surut (PLPS) ini mungkin sudah dikuasai penuh oleh bangsa Indonesia. Karena, pada prinsipnya teknologi tersebut tidak berbeda dengan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) seperti yang diterapkan di waduk Jatiluhur dan waduk-waduk lainnya, di mana air laut ketika pasang ditampung dalam suatu wilayah yang di bendung dan pada waktu pasang surut air laut dialirkan kembali ke laut. Pemutaran turbin dilakukan dengan memanfaatkan aliran air ketika masuk ke dalam dam dan ketika keluar dari dam menuju laut.
Kendala utama penerapan teknologi PLPS ini ada dua. Pertama, Pemerintah belum pernah memanfaatkan energi pasang surut ini untuk menghasilkan listrik, sehingga tenaga ahli Indonesia yang telah menguasai teknologi pembangkit listrik tenaga air belum pernah merancang dan menerapkan atau membangun secara langsung dari awal.
Kedua, untuk pembangunan ini akan merendam wilayah yang luas, apalagi bila harus merendam beberapa desa di sekitar muara atau kolam. Di sini kemudian akan muncul masalah sosial, bukan hanya masalah teknologi.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para ahli Indonesia untuk penerapan teknologi ini adalah efisiensi propeler ketika air masuk dan air keluar. Kalau di PLTA arah air penggerak turbin hanya satu arah, sedangkan pada pembangkit listrik pasang surut ini dari dua arah. Hal kedua yang menjadi perhatian, adalah material yang dipergunakan. Untuk air laut diperlukan material khusus disesuaikan dengan kadar garam dan kecepatan airnya
Kapasitas listrik yang dihasilkan oleh PLPS ini sebaiknya untuk kapasitas besar, di atas 50 Mega Watt, agar bisa ekonomis seperti PLTA. Sumber energi PLPS ini banyak berada wilayah timur Indonesia, mulai dari Ambon hingga ke Papua. Di wilayah ini kebutuhan listrik masih kecil dan membutuhkan power cable bawah laut yang sangat panjang untuk bisa membawa listrik ke pulau Sulawesi yang membutuhkan listrik dalam jumlah besar.
Di negara lain, beberapa pembangkit listrik sudah beroperasi menggunakan ide ini. Salah satu PLPS terbesar di dunia terdapat di muara sungai Rance di sebelah utara Perancis. Pembangkit listrik ini dibangun pada tahun 1966 dan berkapasitas 240 Mega Watt.
PLPS La Rance didesain dengan teknologi canggih dan beroperasi secara otomatis, sehingga hanya membutuhkan dua orang saja untuk pengoperasian pada akhir pekan dan malam hari. Sementara PLPS terbesar kedua di dunia terletak di Annapolis, Nova Scotia, Kanada dengan kapasitas yang mencapai 160 Mega Watt.
Listrik Tenaga Panas Laut (Ocean Thermal Energy Conversion)
Perbedaan temperatur di bawah laut sebenarnya telah menjadi ide pemanfaatan energi dari laut. Kita tentu menyadari jika kita menyelam semakin dalam ke bawah permukaan, airnya akan semakin dingin. Temperatur di permukaan laut lebih hangat karena panas dari sinar matahari diserap sebagian oleh permukaan laut.
Tapi di bawah permukaan, temperatur akan turun dengan cukup drastis. Inilah sebabnya mengapa penyelam menggunakan pakaian khusus selam ketika menyelam jauh ke dasar laut. Pakaian khusus tersebut dapat menangkap panas tubuh sehingga menjaga mereka tetap hangat.
Nah, pembangkit listrik dapat memanfaatkan perbedaan temperatur tersebut untuk menghasilkan energi. Pemanfaatan sumber energi jenis ini disebut dengan konversi energi panas laut atau Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC).
Perbedaan temperatur antara permukaan yang hangat dengan air laut dalam yang dingin dibutuhkan minimal sebesar 77 derajat Fahrenheit (25 °C) agar dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik dengan baik. Adapun proyek-proyek demonstrasi dari OTEC sudah terdapat di Jepang, India, dan Hawaii.
Berdasarkan siklus yang digunakan, OTEC dapat dibedakan menjadi tiga macam: siklus tertutup, siklus terbuka, dan siklus gabungan (hybrid). Pada alat OTEC dengan siklus tertutup, air laut permukaan yang hangat dimasukkan ke dalam alat penukar panas untuk menguapkan fluida yang mudah menguap seperti misalnya amonia. Uap amonia akan memutar turbin yang menggerakkan generator.
Uap amonia keluaran turbin selanjutnya dikondensasi dengan air laut yang lebih dingin dan dikembalikan untuk diuapkan kembali. Pada siklus terbuka, air laut permukaan yang hangat langsung diuapkan pada ruang khusus bertekanan rendah. Kukus yang dihasilkan digunakan sebagai fluida penggerak turbin bertekanan rendah. Kukus keluaran turbin selanjutnya dikondensasi dengan air laut yang lebih dingin dan sebagai hasilnya diperoleh air desalinasi.
Pada siklus gabungan, air laut yang hangat masuk ke dalam ruang vakum untuk diuapkan dalam sekejap (flash-evaporated) menjadi kukus (seperti siklus terbuka). Kukus tersebut kemudian menguapkan fluida kerja yang memutar turbin (seperti siklus tertutup). Selanjutnya kukus kembali dikondensasi menjadi air desalinasi.
Fluida kerja yang populer digunakan adalah amonia karena tersedia dalam jumlah besar, murah, dan mudah ditransportasikan. Namun, amonia beracun dan mudah terbakar. Senyawa seperti CFC dan HCFC juga merupakan pilihan yang baik, sayangnya menimbulkan efek penipisan lapisan ozon. Hidrokarbon juga dapat digunakan, akan tetapi menjadi tidak ekonomis karena menjadikan OTEC sulit bersaing dengan pemanfaatan hidrokarbon secara langsung.
Selain itu, yang juga perlu diperhatikan adalah ukuran pembangkit listrik OTEC bergantung pada tekanan uap dari fluida kerja yang digunakan. Semakin tinggi tekanan uapnya maka semakin kecil ukuran turbin dan alat penukar panas yang dibutuhkan, sementara ukuran tebal pipa dan alat penukar panas bertambah untuk menahan tingginya tekanan terutama pada bagian evaporator.
Kelebihan dari OTEC adalah penggunaannya tidak menghasilkan gas rumah kaca ataupun limbah lainnya, tidak membutuhkan bahan bakar, biaya operasi rendah, dan produksi listrik stabil. Di samping itu, penggunaannya juga dapat dikombinasikan dengan fungsi lainnya: menghasilkan air pendingin, produksi air minum, suplai air untuk aquaculture, ekstraksi mineral, dan produksi hidrogen secara elektrolisis.
Sementara kekurangannya antara lain, belum ada analisa mengenai dampaknya terhadap lingkungan. Terlebih, jika menggunakan amonia sebagai bahan yang diuapkan menimbulkan potensi bahaya kebocoran. Belum lagi biaya pembangunannya yang tidak murah.
Listrik Gelombang Laut (Wave Energy)
Peneliti Universitas Oregon mempublikasikan temuan teknologi terbarunya yang diberi nama Permanent Magnet Linear Buoy. Diberi nama buoy karena memang pada prinsip dasarnya teknologi terbaru tersebut dipasang untuk memanfaatkan gelombang laut di permukaan. Berbeda dengan buoy yang digunakan untuk mendeteksi gelombang laut yang menyimpan potensi tsunami.
Peneliti Oregon menjelaskan prinsip dasar buoy penghasil listrik tersebut yaitu dengan mengapungkannya di permukaan. Gelombang laut yang terus mengalun dan berirama bolak-balik dalam buoy ini akan diubah menjadi gerakan harmonis listrik.
Sekilas bila dilihat dari bentuknya, buoy ini mirip dengan dinamo sepeda. Bentuknya silindris dengan perangkat penghasil listrik pada bagian dalamnya. Buoy diapungkan di permukaan laut dengan posisi sebagian tenggelam dan sebagian lagi mengapung.
Kuncinya, terdapat pada perangkat elektrik yang berupa koil (kuparan yang mengelilingi batang magnet di dalam buoy). Saat ombak mencapai pelampung, maka pelampung tersebut akan bergerak naik dan turun secara relatif terhadap batang magnet sehingga bisa menimbulkan beda potensial dan listrik dibangkitkan. ”Tentu saja agar dapat bergerak koil tersebut ditempelkan pada pelampung yang dikaitkan ke dasar laut.
Dalam percobaan sistem ini diletakkan kurang lebih satu atau dua mil laut dari pantai. Kondisi ombak yang cukup kuat dan mengayun dengan gelombang yang lebih besar akan menghasilkan listrik dengan tegangan yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Universitas Oregon, setiap pelampung mampu menghasilkan daya sebesar 250 kilowatt.
Penjelasan diatas menggunakan teknik koil yang bergerak naik turun, tetapi bisa juga dengan teknik batang magnet yang bergerak naik turun. Pilihan kedua dengan menggunakan pelampung, penempatan koil dan batang magnet bisa juga ditempatkan di dasar atau di permukaan laut.
Dibandingkan dengan energi angin atau matahari, energi gelombang laut kerapatannya jauh lebih tinggi. Peneliti yang sama dari OSU, Alan Wallace menyebutkan penyediaan energi gelombang ini dengan hanya 200 buoy yang diapungkan, satu buah pelabuhan atau kota besar seperti Portland yang besarnya hampir dua kali Jakarta, sudah dapat memanfaatkan energinya dengan sangat melimpah tanpa harus menarik bayaran.
Keyakinannya semakin lebih diperkuat dengan efisiensi penghasilan energi yang tinggi dan besar, energi gelombang laut ini bisa menjadi energi utama pengganti energi sekarang. Di samping nilai ekonomis yang cukup menjanjikan ada hal-hal lain yang dapat memberikan keuntungan di bidang lingkungan hidup.
Energi ini lebih ramah lingkungan, tidak menimbulkan polusi suara, emisi CO2, maupun polusi visual dan sekaligus mampu memberikan ruang kepada kehidupan laut untuk membentuk koloni terumbu karang di sepanjang jangkar yang ditanam di dasar laut. Pada kasus-kasus seperti ini biasanya lebih menguntungkan karena ikan dan binatang laut selalu lebih banyak berkumpul.
Penempatan buoy dengan ukuran yang tidak terlalu besar juga tidak mengganggu pelayaran. Rata-rata dengan besar buoy kurang dari dua meter, kapal besar atau kecil bisa melihat objek tersebut dan dapat menghindarinya.
Energi Ganggang Laut
Alga atau dikenal sebagai tanaman ganggang termasuk tumbuhan yang bisa tumbuh di perairan mana saja. Selain tidak memerlukan air tawar untuk tumbuh. Alga juga dapat ditanam di lahan yang tidak subur dan perairan laut dangkal yang banyak terdapat di Indonesia yang notabene beriklim tropis.
Walaupun tidak memerlukan lahan luas, potensi hayati yang dimiliki alga dinilai luar biasa oleh para ahli biologi. Beberapa waktu lalu, pemerintah Amerika Serikat mengumumkan akan mengambil sumber hayati tersebut sebagai salah satu cadangan untuk menggantikan BBM fosil, yang dalam waktu tidak lama diperhitungkan akan habis dari perut bumi.
Sebagaimana diketahui, mikroalga menggunakan sinar matahari, air dan karbon dioksida untuk menghasilkan oksigen dan biofuel melalui fotosintesis. Tanaman, yang tampak tumbuh di permukaan air, dapat dibudidayakan pada lahan marjinal di kolam terbuka atau di mesin-mesin khusus yang disebut inkubasi photobioreactors, yang menggunakan emisi karbon dioksida dari industri makanan.
Sesuai dengan hasil penelitian, ganggang disebut-sebut lebih produktif daripada tanaman lain karena mereka terus membuat bahan bakar terlepas dari cuacanya. Semua kebutuhan bahan bakar transportasi Amerika Serikat secara teori bisa dipenuhi oleh ganggang yang dibudidayakan di suatu daerah seukuran nagara Belgia. Tanaman ini merupakan salah satu “generasi kedua” dari biofuel, yang dirancang untuk mengatasi kekurangan bahan bakar dari biji-bijian.
Hebatnya, selain bisa dimanfaatkan sebagai biofuel atau bahan bakar minyak, alga juga ternyata bisa menjadi sumber listrik yang potensial dan cukup berharga bagi kehidupan masa depan manusia. Para ahli bioelektro dari Stan-ford University (AS) dan Yonsei University , Seoul, Korea Selatan beberapa waktu lalu ternyata berhasil menemukan sumber energi listrik masa depan yang dihasilkan dari sel alga.
Tanaman sederhana yang selama beberapa tahun diteliti oleh para ahli gabungan dari kedua perguruan tinggi terkenal di kedua negara itu, mampu menghasilkan energi listrik. Sumber energi listrik dari tanaman sederhana ini memang sangat spektakuler karena bisa dikembangkan menjadi sumber listrik yang lebih besar untuk kebutuhan yang lebih luas dan tentunya lebih ekonomis.
Pada dasarnya, dalam proses fo-tosintesis tanaman, ada proses konversi sinar matahari, menjadi energi kimia. Ini merupakan langkah awal untuk menghasilkan energi listrik berefisiensi tinggi. Dari sel yang berfotosintesis inilah elektroda elektron dikumpulkan, kemudian secara tidak langsung diberi energi dari cahaya matahari hingga menghasilkan arus listrik kecil.
Dalam tahap penelitian ilmiah itu, Prof. Ryu, rekannya dari Yonsei University membuktikan bisa memanen elektron listrik. Tanaman menggunakan fotosintesis untuk mengubah energi cahaya menjadi energi kimia, yang kemudian disimpan dalam ikatan gula yang mereka gunakan untuk makanan. Proses ini berlangsung dalam kloro-plas. Sinar matahari yang menembus kloroplas dan elektron, mengubahnya ke tingkat energi yang tinggi. Sementara rangkaian protein, secara cepat meraih mereka dan mengubahnya jadi listrik.
Elektron diturunkan pada serangkaian protein, yang berturut-turut menangkap lebih banyak energi elektron untuk menyintesis gula hingga semua elektron dihabiskan. Dalam penelitian ini, para peneliti menyadap elektron setelah mereka “dimasak” oleh cahaya dan berada di tingkat tertinggi energi. Mereka meletakkan elektroda emas dalam kloroplas sel alga, dan elektronnya dipindahkan untuk menghasilkan arus listrik kecil.
Produk sampingan dari fotosintesis adalah proton dan oksigen. Ini berpotensi jadi salah satu sumber energi bersih untuk pembangkit listrik. Yang jadi pertanyaan adalah, sampai sejauh mana tingkat ekonomisnya bila dieksploitasi secara besar-besaran. Untuk membangkitkan energi, ditarik elektron dari setiap sel hanya satu picoampere. Jumlah listrik yang sangat kecil ini, masih bisa diperkaya dengan photosyn-thesizing triliun sel selama satu jam. Pada tahap awal ini, energi yang dihasilkan hanya untuk menyamai energi yang tersimpan dalam baterai.
Penulis:
Dr. Y. Paonganan, S.Si., M.Si.
Direktur Eksekutif Indonesia Maritime Institute
Sumber : http://www.indonesiamaritimeclub.net/2011/03/25/ocean-energy-laut-solusi-krisis-energi/
0 komentar:
Posting Komentar