Solusi Energi Masa Depan: Energi Angin
Saat ini negara – negara maju di Asia, Eropa dan Amerika utara sudah mulai merancang dan mengembangkan pembangkit listrik alternatif. Kebijakan ini dilakukan dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil (minyak, gas dan batubara) serta untuk mengurasi emisi dan pencemaran yang dapat mengurangi kualitas lingkungan. Energi angin, surya dan panas bumi makin intensif digunakan untuk menjawab kebutuhan energi masa depan. Untuk tulisan kali ini, penulis akan mulai membahas dengan energi angin.
Pembangkit listrik tenaga angin (turbin angin) mengkonversi energi angin menjadi energi listrik dengan menggunakan turbin angin atau kincir angin. Turbin yang digerakkan oleh angin dapat berbentuk horizontal ataupun vertikal, tetapi yang umum digunakan adalah yang berbentuk horizontal. Angin memutar turbin sehingga rotor pada generator dibagian belakang turbin angin berputar dan menimbulkan elektromagnet. Energi Listrik ini biasanya akan disimpan kedalam baterai sebelum dapat dimanfaatkan.
Amerika Serikat, Jerman, Spanyol, Inggris, Belanda, India, dan belakangan China merupakan daftar negara yang sudah dikenal dalam penggunaan energi angin. Jerman menargetkan peningkatan penggunaan trubin angin dari 5% (2000) menjadi sekitar 25% (10% di daratan dan 15% di laut) pada tahun 2030. Lebih intensifnya pembangunan pembangkit listrik di daerah lepas pantai (offshore) disebabkan oleh rendahnya akibat sosial yang ditimbulkan serta kekuatan angin yang lebih besar. Beberapa pembangkit listrik besar dunia berada di daerah offshore, seperti pantai timur Amerika Serikat, Laut Baltik dan Laut Atlantik. Pembangkit listrik tenaga angin diharapkan akan menghasilkan listrik sebesar20.000 – 25.000 MW. Sebuah turbin angin sendiri dapat membangkitkan listrik sebesar 2 MW.
Walaupun demikian, sebuah studi yang dilakukan oleh Greenpeace (2000) menunjukkan bahwa pembangkit listrik tenaga angin mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan sekitar. Studi kasus yang dilakukan pada turbin angin di Laut Utara (North Sea) menunjukkan bahwa konstruksi yang ada menyebabkan kematian burung yang bermigrasi pada musim dingin karena menabrak trubin. Konstruksi juga mengganggu jalur niaga kapal dagang dan nelayan. Hal ini kemudian disiasati dengan menyesuaikan konstruksi serta lokasi instalasi turbin angin serta menurunkan ketinggiannya.
Untuk pembangkit listrik yang dipasang di daratan, gangguan yang paling terasa adalah suara bising yang ditimbulkan. Masyarakat yang tinggal di dekat bangunan tersebut sangat merasakan gangguan yang disebabkan oleh kerja mekanik turbin angin. Perencanaan tata ruang yang matang pun sangat dibutuhkan bagi penyesuaian penggunaan lahan untuk konstruksi pembangkit listrik.
Penyesuaian teknis pembangkit listrik tenaga angin sudah dikembangkan oleh negara – negara tersebut di atas untuk menghasilkan energi secara maksimal dan ramah lingkungan. Selain menjadi energi alternatif, penggunaannya juga memperkuat ekonomi lokal dan mudah dalam penerapannya karena tidak mengimpor/tergantung pada bahan mentah serta menciptakan lapangan kerja baru.
Bagaimana dengan Indonesia?
Kecepatan angin yang rendah menyebabkan turbin angin membutuhkan menara yang tinggi untuk menghasilkan energi yang besar. Akibatnya, industri ini tidak begitu berkembang karena kalah bersaing secara ekonomi dengan energi fosil. Pengalaman negara – negara tersebut di atas yang membutuhkan waktu sekitar 30 tahun untuk mematangkan penggunaan pembangkit listrik dari segi teknis, lingkungan, sosial dan ekonomi perlu menjadi bahan pemikiran. Pemetaan detail daerah yang memiliki potensi energi angin perlu dilakukan dengan segera. Beberapa daerah yang memiliki potensi seperti Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Pantai Selatan Jawa dapat dijadikan pilot project untuk mematangkan konstruksi yang paling sesuai untuk kondisi di Indonesia. Semoga kita belum terlambat untuk bergerak untuk menjawab kebutuhan energi masa depan.
Referensi:
Greenpeace, 2000, North Sea Offshore Wind – A Powerhouse for Europe, Technical Possibilities and Ecological Considerations Study, Greenpeace
BSH, 2007. Standard: Konstruktive Ausführung von Offshore-Windenergieanlagen Herausgegeben vom Bundesamt für Seeschifffahrt und Hydrographie (BSH) http://www.bsh.de/de/Produkte/Buecher/Standards_Windenergie/7005.pdf
http://netsains.com/2010/03/solusi-energi-masa-depan-energi-angin-1/
foto:.technologyindonesia.com
0 komentar:
Posting Komentar