Regulasi Mini LNG Plant Mendesak
Anggota Komisi VII DPR Satya Wira Yudha menyatakan, pemerintah perlu segera menerbitkan regulasi atau peraturan yang khusus mengenai terminal pengangkut dan penerima mini liquified natural gas (LNG). Tujuannya adalah untuk memudahkan investasi para pemodal gas alam cair.
"Peraturannya yang khusus mengenai mini LNG belum ada, kami berharap pertengahan tahun depan sudah terealisasi sehingga memudahkan untuk investasi," kata Satya ketika tampil sebagai pembicara kunci dalam loka karya pengembangan teknologi Mini LNG yang digelar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya bekerja sama dengan Daewo Shipbuilding and Marine Engineering Co.Ltd, di Kuta, Bali akhir pekan lalu.
Menurut dia, peraturan khusus itu sebaiknya mengatur juga pemberian keringanan pajak bagi perusahaan yang mengembangkan mini LNG, dan alokasi gas tanpa adanya tender namun perjanjian langsung dengan melibatkan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Satya berpendapat, teknologi berskala kecil semacam mini LNG plan merupakan salah satu solusi dalam mengurangi beban subsidi bahan bakar minyak (BBM). Dia mengingatkan, saat ini jumlah subsidi BBM sudah mencapai Rp192 triliun dan subsidi listrik Rp80 triliun. “Kami mendukung mini LGN ini karena bisa mengurangi beban subsidi, teknologi itu bisa dioptimalkan produksi gas dan kurangi subsidi itu,"katanya.
Mini LNG dalam kacamata Satya cocok untuk diupayakan mengingat banyaknya sumber gas dalam skala kecil di daerah terpencil. “Jika dibangun LNG plant terlalu besar dan tidak ekonomis, jadi mini LNG plant lebih cocok,” tuturnya. Tanpa mini LNG plant, maka sumber gas yang tersebar itu akan sulit dikomersialkan.
Adapun Tammy Meidharma, CEO PT Perta Daya Gas dalam kesempatan yang sama mengatakan, mini LNG merupakan pilihan yang potensial untuk mengangkut gas alam ke daerah penerima yang terpencil, ketika moda transportasi lainnya dinilai tidak ekonomis untuk kondisi geografis wilayah Indonesia Timur.
Tammy menyebutkan, tidak seperti daerah Jawa dan Sumatera, pembangunan jaringan pipa transmisi gas yang luas di wilayah Indonesia Timur tidak layak karena permintaan gas yang relatif rendah yakni hanya di kisaran 3 MMSCFD hingga 30 MMSCFD tidak sebanding dengan biaya modal investasi yang tinggi.
“Artinya jaringan pembangunan pipa di Indonesia Timur tidak cocok dibangun, untuk itu terminal pengangkutan dan penerima Mini LNG merupakan solusi yang strategis untuk menyeimbangkan kesenjangan antara pasokan dan permintaan sehubungan dengan kondisi geografis dan dan jarak antara pasokan gas dengan ke titik?titik penerimaan di daerah,” katanya.
Di sisi lainnya, PLN berupaya untuk mengganti BBM untuk operasional pembangkit menjadi bahan bakar gas untuk mengurangi biaya yang membengkak karena penggunaan solar untuk pembangkit tenaga listrik, dengan potensi penghematan sekitar US$5.400 juta per tahun.
Kondisi saat ini, listrik menyerap lebih dari 50 persen dari semua kebutuhan domestik akan gas dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (compound annual growth rate/CAGR) sebesar 6?8 persen.
“Dengan pertumbuhan produk domestik bruto rata?rata sebesar 5,2 persen dalam perkembangan dekade ke depan Indonesia memosisikan diri untuk memperluas permintaan energi secara cepat, dan ekonomi domestik dan pertumbuhan permintaan energi nantinya menciptakan kesempatan untuk mengembangkan gas domestik dan bisnis LNG,” tuturnya. Perta Daya Gas mempunyai rancangan akan membangun terminal pengangkut dan penerima mini LNG di kawasan Indonesia Timur yang akan mendukung infrastruktur distribusi gas untuk pembangkit PLN di kawasan tersebut. Beberapa di antaranya,terminal penerima Mini LNG Pontianak, Tanjung Batu berkapasitas16 MMSCFD, Batakan 3 MMSCFD, Pesanggaran 20 MMSCFD, Maros 10 MMSCFD, Kupang Pomalaa 25 MMSCFD, Halmahera 30 MMSCFD. Sedangkan pemetaan untuk daerah terminal penyedia Mini LNG yaitu FSRU Jateng, Bontang, Donggi Senoro, dan Salawati.
Adapun Deputi Pengendalian Operasi Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Gede Pradnyana dalam lokakarya yang sama menjelaskan, alokasi gas untuk domestik terjadi peningkatan di atas 250 persen dalam 8 tahun terakhir. Pada 2004 sebesar 1.466 BBTUD menjadi 3.267 BBTUD pada 2011. Dari tiga sektor alokasi gas, industri yang paling dominan menyerap dari dua sektor lainnya yakni pupuk dan kelistrikan.
Untuk menggenjot permintaan alokasi gas domestik dan konsumsi minyak yang bertambah, Indonesia dalam jangka panjang akan menambah proyek pembangunan produksi gas dan minyak dalam jangka waktu tujuh tahun ke depan. Dari total 17 proyek. proyek gas mendominasi dengan jumlah delapan proyek, tujuh proyek untuk produksi minyak dan dua proyek minyak mentah.
Sumber : http://wartaekonomi.co.id/berita5961/regulasi--mini-lng-plant-mendesak.html
"Peraturannya yang khusus mengenai mini LNG belum ada, kami berharap pertengahan tahun depan sudah terealisasi sehingga memudahkan untuk investasi," kata Satya ketika tampil sebagai pembicara kunci dalam loka karya pengembangan teknologi Mini LNG yang digelar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya bekerja sama dengan Daewo Shipbuilding and Marine Engineering Co.Ltd, di Kuta, Bali akhir pekan lalu.
Menurut dia, peraturan khusus itu sebaiknya mengatur juga pemberian keringanan pajak bagi perusahaan yang mengembangkan mini LNG, dan alokasi gas tanpa adanya tender namun perjanjian langsung dengan melibatkan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Satya berpendapat, teknologi berskala kecil semacam mini LNG plan merupakan salah satu solusi dalam mengurangi beban subsidi bahan bakar minyak (BBM). Dia mengingatkan, saat ini jumlah subsidi BBM sudah mencapai Rp192 triliun dan subsidi listrik Rp80 triliun. “Kami mendukung mini LGN ini karena bisa mengurangi beban subsidi, teknologi itu bisa dioptimalkan produksi gas dan kurangi subsidi itu,"katanya.
Mini LNG dalam kacamata Satya cocok untuk diupayakan mengingat banyaknya sumber gas dalam skala kecil di daerah terpencil. “Jika dibangun LNG plant terlalu besar dan tidak ekonomis, jadi mini LNG plant lebih cocok,” tuturnya. Tanpa mini LNG plant, maka sumber gas yang tersebar itu akan sulit dikomersialkan.
Adapun Tammy Meidharma, CEO PT Perta Daya Gas dalam kesempatan yang sama mengatakan, mini LNG merupakan pilihan yang potensial untuk mengangkut gas alam ke daerah penerima yang terpencil, ketika moda transportasi lainnya dinilai tidak ekonomis untuk kondisi geografis wilayah Indonesia Timur.
Tammy menyebutkan, tidak seperti daerah Jawa dan Sumatera, pembangunan jaringan pipa transmisi gas yang luas di wilayah Indonesia Timur tidak layak karena permintaan gas yang relatif rendah yakni hanya di kisaran 3 MMSCFD hingga 30 MMSCFD tidak sebanding dengan biaya modal investasi yang tinggi.
“Artinya jaringan pembangunan pipa di Indonesia Timur tidak cocok dibangun, untuk itu terminal pengangkutan dan penerima Mini LNG merupakan solusi yang strategis untuk menyeimbangkan kesenjangan antara pasokan dan permintaan sehubungan dengan kondisi geografis dan dan jarak antara pasokan gas dengan ke titik?titik penerimaan di daerah,” katanya.
Di sisi lainnya, PLN berupaya untuk mengganti BBM untuk operasional pembangkit menjadi bahan bakar gas untuk mengurangi biaya yang membengkak karena penggunaan solar untuk pembangkit tenaga listrik, dengan potensi penghematan sekitar US$5.400 juta per tahun.
Kondisi saat ini, listrik menyerap lebih dari 50 persen dari semua kebutuhan domestik akan gas dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (compound annual growth rate/CAGR) sebesar 6?8 persen.
“Dengan pertumbuhan produk domestik bruto rata?rata sebesar 5,2 persen dalam perkembangan dekade ke depan Indonesia memosisikan diri untuk memperluas permintaan energi secara cepat, dan ekonomi domestik dan pertumbuhan permintaan energi nantinya menciptakan kesempatan untuk mengembangkan gas domestik dan bisnis LNG,” tuturnya. Perta Daya Gas mempunyai rancangan akan membangun terminal pengangkut dan penerima mini LNG di kawasan Indonesia Timur yang akan mendukung infrastruktur distribusi gas untuk pembangkit PLN di kawasan tersebut. Beberapa di antaranya,terminal penerima Mini LNG Pontianak, Tanjung Batu berkapasitas16 MMSCFD, Batakan 3 MMSCFD, Pesanggaran 20 MMSCFD, Maros 10 MMSCFD, Kupang Pomalaa 25 MMSCFD, Halmahera 30 MMSCFD. Sedangkan pemetaan untuk daerah terminal penyedia Mini LNG yaitu FSRU Jateng, Bontang, Donggi Senoro, dan Salawati.
Adapun Deputi Pengendalian Operasi Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Gede Pradnyana dalam lokakarya yang sama menjelaskan, alokasi gas untuk domestik terjadi peningkatan di atas 250 persen dalam 8 tahun terakhir. Pada 2004 sebesar 1.466 BBTUD menjadi 3.267 BBTUD pada 2011. Dari tiga sektor alokasi gas, industri yang paling dominan menyerap dari dua sektor lainnya yakni pupuk dan kelistrikan.
Untuk menggenjot permintaan alokasi gas domestik dan konsumsi minyak yang bertambah, Indonesia dalam jangka panjang akan menambah proyek pembangunan produksi gas dan minyak dalam jangka waktu tujuh tahun ke depan. Dari total 17 proyek. proyek gas mendominasi dengan jumlah delapan proyek, tujuh proyek untuk produksi minyak dan dua proyek minyak mentah.
Sumber : http://wartaekonomi.co.id/berita5961/regulasi--mini-lng-plant-mendesak.html
0 komentar:
Posting Komentar